Catatan ini adalah bagian dari tulisan lebih panjang, yang sudah saya selesaikan beberapa waktu lalu. Saya akan senang jika tulisan ini dimaknai sebagai sumbangan seorang pembaca yang menaruh harapan untuk kebaikan sastra Indonesia. Bagian utuhnya, yang lebih detail, akan saya tampilkan juga nanti di blog ini sebagai catatan akhir tahun. Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari tulisan ini. Salam. A.S. Laksana
---
SEBAGAI pembaca, saya orang yang setia menunggu dan terus menaruh harapan, waktu demi waktu, akan lahirnya karya sastra Indonesia yang layak disetarakan dengan karya-karya para penulis terbaik luar negeri. Demi gampangnya, katakanlah, setara dengan karya-karya para pemenang Nobel Sastra. Karena itu saya bahagia sekali ketika Amba terbit dan mendapatkan pujian setinggi langit. Demikian juga ketika Pulang terbit. Itu dua novel mutakhir yang banyak dibicarakan orang.
Beberapa kali terlibat dalam urusan penjurian karya-karya fiksi, baik untuk buku yang sudah diterbitkan maupun naskah-naskah yang belum diterbitkan, yang segera tampak mencolok adalah kenyataan ini: kebanyakan penulis kita tidak memiliki kecakapan yang memadai untuk menyampaikan gagasan mereka ke dalam karya fiksi yang mereka tulis. Saya membayangkan hal itu serupa kita maju ke medan perang dengan persenjataan dan amunisi seadanya, atau bahkan dengan tangan kosong. Kurang lebih seperti gambaran yang ditanamkan di dalam benak kita melalui pelajaran sejarah bahwa para pahlawan kita mengusir penjajah dengan bersenjatakan bambu runcing.
Kebanyakan penulis kita juga adalah orang-orang yang berperang dengan menggenggam bambu runcing. Ada hasrat besar untuk menyampaikan masalah-masalah semesta, dan itu adalah hasrat yang tidak didukung oleh teknik yang memadai, dengan kecakapan yang pas-pasan saja. Hasilnya adalah karya yang seadanya.
Di luar mereka, di pihak pembaca, masih saja saya dengar pernyataan apriori bahwa karya sastra adalah karya yang ruwet dan susah dicerna. Pernyataan itu menyampaikan pesan implisit bahwa sastra adalah sesuatu yang tinggi sekali dan tidak terjangkau oleh orang kebanyakan. Dalam pengalaman saya, sesuatu menjadi sangat ruwet ketika saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahaminya. Misalnya, persamaan-persamaan matematika bagi saya adalah sesuatu yang ruwet sekali karena saya tidak mendalami bidang itu.
"Dalam pengalaman saya, sesuatu menjadi sangat ruwet ketika saya tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memahaminya. Misalnya, persamaan-persamaan matematika bagi saya adalah sesuatu yang ruwet sekali karena saya tidak mendalami bidang itu."
Jadi ada dua masalah penting yang layak dikaji jika kita membicarakan sastra Indonesia, yakni masalah di pihak pembaca dan masalah di pihak penulis. Apa yang membuat para penulis kita sedemikian tidak terampil bercerita dan apa yang terus-menerus menghidupkan pandangan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang ruwet?
Secara umum, baik penulis maupun pembaca adalah orang-orang yang dibesarkan dalam situasi pendidikan yang kurang lebih serupa. Pelajaran sastra, pada masa saya sekolah, memberi tahu bahwa susastra adalah seni berbahasa indah dan bahasa sastra adalah bahasa yang berbeda dari bahasa keseharian. Maka diberikanlah contoh-contoh syair para penulis zaman dulu, juga sinopsis Sitti Nurbaya dan kawan-kawan seangkatannya dan sejumlah hal yang mesti dihapal tentang pengarang dan karyanya dan angkatan-angkatan yang ada dalam sejarah sastra Indonesia. Dan saya membuat kesimpulan: seperti itulah karya sastra. Kalau saya berniat menulis sastra, kurang lebih saya harus membuat karya yang seperti itu.
Buku pelajaran sastra sekarang tampaknya agak berbeda. Ia punya banyak kemauan dan cerewetnya minta ampun. Saya berani mengatakan bahwa buku pelajaran sastra Indonesia saat ini adalah buku paling cerewet yang pernah saya baca. Dengan buku semacam itu, anda bisa bilang bahwa sastra diajarkan di sekolah-sekolah dalam cara yang tidak sastrawi sama sekali dan dengan penuturan yang tidak mengenal metafora dan implikasi. Metode pengajaran sastra di sekolah-sekolah itu mengingatkan saya akan kondisi masyarakat negeri Bonga, sebuah negeri fiktif, dalam kolom Umberto Eco. Di negeri Bonga, kata Eco, segala benda atau tindakan harus dijelaskan. Di setiap rumah ada tulisan “Ini rumah” dan setiap orang yang berniat tertawa saat melihat acara lelucon akan memberi tahu lebih dulu: “Karena ini acara lelucon, maka saya tertawa.”
Seperti itulah situasi yang saya temui di dalam buku pelajaran sastra Indonesia untuk kelas VII (SMP). Semua yang ingin dicapai melalui pelajaran sastra disampaikan oleh para penulis buku pelajaran tesebut. Mereka seperti takut jangan-jangan para siswa tidak tahu tujuan mempelajari kesastraan. Maka segala hal diterangkan dalam cara yang lugu dan dalam rumusan yang membuat siswa tidak menjadi lebih paham tentang apa yang dirumuskan. Misalnya, "dongeng adalah cerita yang penuh keajaiban dan mengandung pesan moral yang baik. Dongeng harus disampaikan dalam urutan yang baik." Dan seperti apa urutan yang baik? “Urutan yang baik, berkaitan dengan alur cerita. Alur cerita harus berjalan dengan baik sehingga ceritanya menjadi jelas ketika didengar.”
Kemudian ketika mereka menjelaskan buku anak, mereka menyampaikannya seperti ini: “Buku cerita anak adalah bacaan sastra yang diperuntukkan bagi anak. Tokoh, alur, tema, latar, dan amanat disesuaikan dengan perkembangan mental dan emosi anak.”
Dalam penjelasan tentang alur cerita yang baik, anda tidak pernah tahu seperti apa “alur cerita yang berjalan dengan baik” atau urutan yang baik itu dimulai dari mana dan diakhiri di mana. Dalam penjelasan tentang bacaan anak, anda tidak mendapatkan pemahaman lebih tentang cerita anak. Cara buku itu menyampaikan, sama dengan jika kita mendengar orang menjelaskan bahwa air adalah benda cair; jika dipanaskan, air bisa mendidih; jika didinginkan di dalam kulkas, air bisa membeku.”
Pesan moral dalam karya seperti ditegaskan sebagai inti pelajaran sastra. Setiap tulisan yang dijadikan contoh, disebutkan pesan moralnya, seolah para penyusun buku itu cemas bahwa murid-murid akan keliru memahami pesan moral cerita-cerita yang mereka jadikan contoh. Mereka tidak pernah memahami bahwa menuliskan pesan moral dalam cerita adalah tindakan membatasi kemampuan berpikir atau berimajinasi anak-anak. Setiap orang akan menemukan pemahaman sendiri berdasarkan pengalaman masing-masing, yang berbeda satu sama lain. Kebebasan menafsir semacam itu tak pernah mendapatkan ruang dalam buku pelajaran yang ceriwis.
Maka, pembaca sastra kita adalah orang-orang yang sejak kecil sudah dicekoki dengan keyakinan bahwa karya sastra adalah sebuah karya yang mengandung pesan moral. Bertahun-tahun kemudian, jika mereka tidak segera menemukan pesan moral dalam cerita-cerita yang mereka baca, mereka akan langsung mengatakan bahwa sastra adalah karya yang ruwet.
"...pembaca sastra kita adalah orang-orang yang sejak kecil sudah dicekoki dengan keyakinan bahwa karya sastra adalah sebuah karya yang mengandung pesan moral. Bertahun-tahun kemudian, jika mereka tidak segera menemukan pesan moral dalam cerita-cerita yang mereka baca, mereka akan langsung mengatakan bahwa sastra adalah karya yang ruwet."
Murid-murid sekolah, yang disuntik dengan keyakinan semacam itu, bertahun-tahun kemudian ada juga yang menjadi penulis, ada yang menjadi pembaca, namun sebagian besar tidak pernah menjadi pembaca maupun penulis. Mereka yang menulis, sebagian mengamalkan ajaran dari buku-buku pelajaran yang mereka terima ketika sekolah, menjadi para pendakwah pesan moral, sebagian memberontak. Dan keduanya melakukan itu semua dengan kecakapan yang tidak memadai, sebagaimana yang saya sampaikan di awal tulisan ini.
Bahkan pada karya-karya terkini yang dipuji begitu melambung oleh beberapa orang, misalnya Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Leila S. Chudori, tampak juga sejumlah kelemahan penggarapan. Saya tidak ingin mengagung-agungkan urusan teknik penulisan. Bagaimanapun, itu hanya urusan teknik dan orang dengan mudah bisa menyepelekan bahwa teknik adalah hal yang membelenggu imajinasi. Bagi para medioker mungkin teknik memang membelenggu. Namun di tangan para maestro, yang sangat menguasai teknik, biasanya teknik justru menghilang dan yang muncul adalah keindahan. Jika apa-apa yang bersifat teknis masih menonjol, maka anda tahu bahwa penulisnya adalah anak sekolahan atau ia baru mulai belajar menulis.
Amba, yang dipuji keindahan bahasanya (Bambang Sugiharto dalam tulisannya di Kompas menyebutnya sebagai karya dengan mutu “world class”), bisa dengan gampang kita ketahui bahwa ia dituturkan dalam teknik Goenawan Mohamad bertutur. Hal ini kita bisa temui di halaman pertama dan di halaman mana pun dari novel tersebut.
“Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau.” (Laksmi Pamuntjak)
“Bintang pagi: seperti sebuah sinyal untuk berhenti. Di udara keras kata-kata berjalan, sejak malam, dalam tidur: somnambulis pelan, di sayap mega, telanjang, ke arah tanjung yang kadang menghilang.” (GM)
Keterpengaruhan adalah hal yang jamak dalam penulisan, sebagaimana juga dalam bidang-bidang kreatif lain seperti musik, seni lukis, drama, dan sebagainya. Dalam menulis Amba, entah disadari entah tidak, Laksmi tampaknya memilih mengadopsi semua teknik bertutur GM. Tentang kenapa ia memilih gaya penuturan GM, dan bukan Gerson Poyk atau Hamsad Rangkuti, untuk menyampaikan Amba, itu hak Laksmi sepenuhnya. Ia memiliki pertimbangan tersendiri apakah lebih baik bertutur menirukan orang lain atau memunculkan suaranya sendiri.
Masalahnya ia berupaya terlalu keras merias bahasa dan abai terhadap sejumlah elemen lain dalam penceritaan. Amba menjadi gagal dalam penokohan karena pengarangnya terasa mendesakkan kehadiran, dan terus-menerus menitipkan suaranya, di dalam novel itu. Jika anda membaca teliti, anda akan dengan mudah mendapati bahwa karakter Amba tidak berbeda, atau sudah menjadi seperti itu, baik baik ia berumur delapan, dua belas, maupun enam puluh dua tahun. Mungkin semenjak lahir sudah begitu, karena sering dalam beberapa penuturan saya jumpai juga pernyataan “Amba tahu semenjak lahir….”
Catatan lain, ia tersandung-sandung di sejumlah urusan detail. Kekeliruan dalam detail ini merupakan kecelakaan fatal ketika ia dimaksudkan, atau dikesankan, sebagai novel “realistik”, yang berhasrat mengungkap “kebenaran sejarah”.
Gangguan serius saya rasakan juga saat membaca Pulang. Mengandalkan kekuatan presentasi pada plot, Pulang menjadikan karakter-karakter di dalamnya tampil seperti wayang belaka dan di dalamnya banyak adegan percintaan yang berlangsung gampangan dan bisa terjadi di sembarang tempat--dengan beberapa kali terjadi adegan tokoh lelaki "mengangkat dagu" dan melumat tokoh perempuan--serupa film Hollywood. Seperti ingin menempatkan diri di seberang Amba, Leila menegaskan bahwa ia antipuisi. Namun, persoalan pada Pulang bukan apakah ia anti atau pro-puisi. Dalam membaca novel itu saya beberapa kali tersandung oleh pemerian-pemerian yang tidak pas dan pameran referensi yang memberikan kesan snob. Simak kutipan berikut:
“Seperti jala hitam yang mengepung kota; seperti segalon tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh permukaan Jakarta.” (Saya kaget pada pemerian tentang malam yang sudah turun ini. Cukupkah hanya segalon tinta untuk menghitamkan seluruh permukaan Jakarta?) Jika tidak hati-hati, anda tahu, hasrat untuk memegahkan bahasa sering membuat penulisnya tersandung sendiri. Lebih serius dari itu, pemerian saya kira juga harus mempertimbangkan nalar.
“Aku masih mendengar siulan gerobak putu yang kini seperti memainkan ‘Miroirs’ dari Ravel. Mengapa bukan ‘Bolero’, aku tak paham.” (Terus terang, saya juga tak paham kenapa bunyi monoton siulan putu itu memilih memainkan Ravel dan bukan Koes Plus atau Orkes Keroncong Gaya Baru Malam. Dan sampai cerita itu berakhir, saya tetap tidak mendapatkan penjelasan kenapa suling putu itu seperti memainkan ‘Miroirs’ dari Ravel. Dan apa guna ia memainkan komposisi itu dalam cerita ini?)
Harapan saya mulai kendor tentang Amba dan Pulang. Tetapi saya terus menamatkannya, saya bahkan membaca Amba berkali-kali, dan mendapati bahwa kedua novel tersebut tampaknya berangkat dari prasangka bahwa segala yang berbau negara, atau siapa pun yang ada hubungannya dengan negara, adalah buruk dalam segala hal, baik pikiran, tindakan, maupun penampilan fisik. Maksud saya, kedua novel itu membuat generalisasi tentang negara dan setiap figur yang menjadi bagian dari “negara” itu. Generalisasi adalah gangguan serius dalam penulisan fiksi dan ini sering menghinggapi para penulis yang dipenuhi keprihatinan besar akan kondisi masyarakat dan sikap kritis terhadap negara, namun tidak memiliki cara berbeda untuk menyampaikannya.
Dengan perlawanan keras terhadap negara, yang dianggap keliru memperlakukan orang-orang yang bukan komunis atau “belum komunis”, tanpa disadari tiba-tiba mereka menjadi pendukung asumsi kuno Cesare Lombroso tentang manusia penjahat. Dalam bukunya yang terbit tahun 1876 berjudul L'uomo delinquente (Manusia Penjahat), Lombroso menyebutkan ciri-ciri manusia penjahat sebagai berikut: memiliki rahang yang luar biasa besarnya, memiliki tulang pipi yang tinggi, ada tonjolan melengkung pada alis, ada garis-garis yang tegas pada telapak tangan, rongga matanya sangat besar, tidak memiliki kepekaan terhadap rasa nyeri, penglihatannya sangat tajam, memiliki kegemaran menato tubuh, kemalasannya sungguh berlebihan, memiliki kesukaan terhadap pesta gila-gilaan, dan keinginannya untuk menumpahkan darah sungguh tak tertahankan. Masih ada satu ciri lagi, telinganya berbentuk gagang wajan. Konon telinga gagang wajan ini lazim terdapat pada para penjahat, orang primitif, dan kera. Pendeknya, para penjahat biasanya memiliki anggota-anggota tubuh yang ukurannya melenceng dari ukuran manusia normal.
Kebanyakan film kacangan Hollywood adalah pendukung gagasan Lombroso dalam menggambarkan karakter orang jahat, juga fiksi-fiksi lain yang dipengaruhi oleh film-film Hollywood. Tapi tidak semua begitu; film-film Hollywood yang baik tidak menggunakan stereotipe itu untuk menampilkan manusia penjahat. Don Vito Corleone, misalnya, adalah sosok yang tampan dan kharismatik dan selalu menampakkan perangai lembut. Dan ia orang jahat yang mengerikan. Stereotipe orang jahat dalam novel Amba dan Pulang, dalam hal ini orang-orang di pihak negara, memang tidak digambarkan dalam detail yang pengukurannya oleh Lombroso melibatkan peralatan meteran dan jangka, tetapi mereka nyaris selalu digambarkan buruk lahir dan batin.
Kedua novel yang kita bicarakan itu mengolah peristiwa 1965, sumber utama cerita-cerita politik kita. Saya sesungguhnya agak bosan dengan tema itu dan berharap bahwa situasi-situasi politik mutakhir kita juga bisa menjadi bahan cerita yang menarik di tangan para penulis. Kenapa peristiwa-peristiwa hari ini tidak mampu melahirkan karya-karya yang menarik? Saya curiga bahwa kecakapan teknik untuk itu tidak memadai. Ketidakcakapan mengolah bahan yang dipungut dari situasi hari ini hanya akan melahirkan karya-karya yang seperti laporan jurnalistik, tetapi tidak bisa dipercaya fakta-faktanya.
Okky Madasari adalah salah satu yang rajin mengolah situasi masyarakat kita hari ini dan memfiksikannya—dan tahun lalu ia mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk kerajinannya melalui novel Maryam. Okky tampaknya menulis dengan hasrat besar untuk membuat pembacanya terharu. Termasuk dalam Maryam. Ia cenderung mengolah fakta, bahan tulisannya, menjadi melodrama. Dan melodrama pada umumnya adalah drama yang memang dimaksudkan untuk menguras air mata.
Dengan catatan semacam ini terhadap novel-novel yang dipuji beberapa orang sebagai karya bagus, dan tanpa niat untuk membuat generalisasi bahwa mereka mewakili mutu kebanyakan karya sastra Indonesia, saya tetap mencoba mempertahankan harapan saya akan lahirnya karya yang betul-betul bagus suatu saat nanti. Jika anda punya harapan sama dengan saya, tampaknya kita harus bersabar untuk itu, sampai kita tahu bagaimana cara terbaik mengajarkan sastra kepada anak-anak. Pengajaran yang baik sejak kanak-kanak akan membuat mereka tumbuh dengan pemahaman yang lebih beres tentang sastra, dan kelak mereka bisa menulis dengan wawasan yang lebih kaya, dan dengan kecakapan yang lebih memadai. [*]
Oleh A.S. Laksana, sastrawan dan eseis.
AS Laksana (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 25 Desember 1968; umur 46 tahun) adalah seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan Indonesia yang dikenal aktif menulis cerita pendek di berbagai media cetak nasional di Indonesia. Ia belajar bahasa Indonesia di IKIP Semarang dan ilmu komunikasi di FISIP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia juga menjadi salah satu pendiri majalah Gorong-Gorong Budaya.
Laksana pernah menjadi wartawan Detik, Detak, dan Tabloid Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan kreatif Jakarta School. Kini ia aktif di bidang penerbitan. Kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Bidadari yang Mengembara terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 versi Majalah Tempo.