
KONFROMNTASI- Ppimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lama Abraham Samad mengatakan, korupsi besar (grand coruption) yang harus dilakukan penindakan oleh KPK jumlahnya harus sebesar Rp 50 miliar.
Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap penegak hukum sebenarnya bisa melakukan inisiatif terkait adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam pertemuan antara Ketua DPR, Setya Novanto (SN), dengan pimpinan PT Freeport Indonesia (PTFI). Aktivis ICW, Febri Hendri mengatakan pertemuan itu bisa menjadi indikasi awal adanya tindak pidana korupsi. Menurut dia, pertemuan-pertemuan informal seperti yang dilakukan Setya Novanto dan pimpinan PTFI menjadi salah satu modus dalam praktik-praktik korupsi. Sebelumnya, Menteri ESDM, Sudirman Said, sempat melaporkan politisi Partai Golkar itu atas dugaan pelanggaran etika. Setya diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam negosiasi soal kelanjutan kontrak Freeport di Indonesia. Bahkan, Setya disebut-sebut meminta pembagian saham Freeport dan proyek pembangkit listrik di Papua. Saat ini, MKD tengah mendalami laporan tersebut. Namun, selain dari kode etik, sebenarnya penegak hukum bisa berinisiatif untuk melakukan penyelidikan. "MKD itu kan kode etik. Tapi bisa juga KPK atau Kejaksaan Agung berinisiatif untuk menindaklanjuti kemungkinan tindak pidana korupsi di situ, jika ditemukan kecurigaan tindak pidana korupsi," ujar Febri saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/11). Febri menambahkan, Pertemuan-pertemuan informal seperti itu memang kerap menjadi modus dalam tindakan korupsi. Bahkan, secara khusus, Febri menilai, pertemuan yang dilakukan Setya Novanto itu memiliki indikasi adanya tindak pidana korupsi, terutama mengenai penggunaan pengaruh untuk kepentingan pribadi.
"Bukan berarti korupsi kecil diabakan, akan tetapi ada supervisi dengan berkoordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian, supaya korupsi kecil tersebut diserahkan kepada kejaksaan dan kepolisian saja," ujarnya saat menjalani fit and proper test capim KPK di Ruangan Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/11).
Abraham mengungkapkan, pendapatan dari Freeport hanya satu persen. Ini berarti, seharusnya di APBN tercantum Rp 80 triliun, akan tetapi yang tertera Rp 13 trilun.
"Lalu uang Rp 60 triliun lebih kemana, dan ini perlu menjadi pengusutan yang dilakukan oleh KPK," tegas Abraham.
Abraham menambahkan, dalam pemberantasan korupsi, KPK harus fokus dalam menangani korupsi besar. Karenanya, untuk kasus kecil, KPK lebih memberikan bantuan yang bersifat teknis kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.
"Kok kita yang kecil-kecil diburu, seperti Nazarudin dan Nunun Nurbaetie, sementara kasus BLBI yang menyedot kerugian negara ratusan triliun seperti yang dilakukan Djoko Candara yang tidak diburu. Kan aneh, yang kecil diburu, akan tetapi yang besar dibiarkan," ujarnya.
Dalam melakukan pemberantasan korupsi, KPK ke depan harus lebih memfokuskan diri pada kasus korupsi besar, terutama dari sektor penerimaan pajak dan sektor royalti di bidang energi sumber daya mineral.
Menurutnya, operasi intelijen yang dilakukan KPK dalam menangkap tersangka, semisal Muhammad Nazaruddin, membutuhkan biaya yang cukup tinggi (high cost). "Akan tetapi dengan melakukan pencegahan tentu, biaya yang dikeluarkan tentu lebih kecil," tambahnya.
( Ral / Nky )