
JAKARTA- Korupsi Reklamasi di Teluk Jakarta hingga kini masih menjadi polemik. Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengungkapkan bahwa masih banyak hal yang perlu dipertanyakan mengenai hal tersebut.
Margarito mempertanyakan kapasitas pemerintah dalam menyelesaikan persoalan itu. Menurutnya, reklamasi menyebabkan kerugian bagi negara. Namun, kerugian tersebut tidak masuk dalam kerugian keuangan negara.
Padahal reklamasi menyebabkan kerusakan lingkungan di mana-mana. Kerusakan lingkungan serupa juga dialami di Sulawesi Tenggara. Margarito menyayangkan sikap diam Presiden Jokowi dalam menghadapi hal ini.
"Padahal sebagai pemimpin tertinggi negara, seharusnya Jokowi bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemerintah. Tugasnya adalah menegakkan hukum," kata Margarito, dalam diskusi Talkshow Polemik Radio Sindotrijaya Network, Sabtu (22/10) di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat.
Margarito menambahkan, terlalu banyak orang yang ikut memberikan masukan yang menyebabkan Jokowi belum juga mengambil sikap hingga saat ini.
"Terlalu banyak masukan dan itu menyulitkan beliau mungkin sehingga akhirnya memilih diam," lanjut Margarito.
Kasus kontribusi tambahan pada proyek reklamasi Teluk Jakarta, sarat bau korupsi. Indikasi korupsi Ahok itu sudah mudah dibaca dengan pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo yang terus menyoroti kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Para analis melihat, Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang bersuara lantang, vokal dan mampu membelah umat Islam dengan sumber dana para taipan dan sumber daya lainnya, kini jadi cemooh publik karena isu korupsi reklamasi, belum lagi kasus Sumber Waras yang kontroversial itu.Bahwa dana “off budget” yang dilakukan pemda DKI/Ahok adalah melanggar hukum.
“Yang saya soroti, kontribusi tambahan itu seharusnya tidak digunakan begitu saja, mesti masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dulu,” ungkap Agus kepada Tempo.co baru-baru ini. Karena tak masuk APBD, maka itu jelas korupsi. Dan Jokowi didesak civil society dari berbagai kalangan agar tak lindungi Ahok soal bau sangit korupsi Reklamasi yang heboh itu. Sudah banyak bukti, selain perbuatan ahok sendiri, keterangan dari Suny Tanuwijaya bahwa Ahok dan Aguan bertemu setiap bulan, juga indikasi adanya KKN itu.
Sugianto Kusuma alias Aguan mengaku perusahaan milikinya sudah memberikan Rp220 miliar kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai kewajiban karena menjadi pengembang mereklamasi.
"Saya dengar pemerintah zaman Pak Ahok minta kontribusi tambahan, untuk PT KNI (Kapuk Naga Indah), ini tidak ada masalah karena kami sendiri sudah ada PKS (Perjanjian Kerja Sama) sendiri," kata Aguan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (27/7/2016).
Agus bahkan mengaku tidak melihat adanya situasi force majeure atau overmacht ketika Ahok harus menggunakan diskresi untuk kontribusi tambahan 15 persen bagi pengembang reklamasi. “Jadi, kenapa mesti ada diskresi mengenai kompensasi yang tidak masuk APBD?” lontar Agus.
Dan meski seandainya diskresi yang ditempuh itu tidak menguntungkan Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta, namun di mata KPK hal itu menguntungkan orang lain. Itu artinya bau sangit korupsi karena menguntungkan orang lain. (Mdk)