
KONFRONTASI- Dua Menteri ini didesak agar dicopot dalam reshuffle jilid II Jokowi yakni Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said. Rinso dan Sudirman jelas bermasalah, tinggal tunggu waktu dicopot, malah Sudirman enngan hadir di sidang/rapat Kementerian Kemaritiman dan Sumber Daya.
Demikian pandangan aktivis Gerakan Mahasiswa 1977/78 Ir Syafril Sofyan, Reinhard MSc dari Bung Karno Institute dan Engkus Munarman, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL) Jakarta, kemarin..
Ketiganya menilai, PDIP maupun Istana sendiri sudah jengah dan bosan dengan cara bermain Rini dan Sudirman yang secara telanjang memihak kepentingan tertentu, bau sangit rented an aroma KKN, yang justru mencelakakan Jokowi. Akibatnya, dollar menembus Rp14.000 karena ada kepentingan bercokol di Kabinet Kerja demi kepentingan bisnis tertentu. Pasar dan publik kecewa dengan situasi cabinet itu.
Belakangan ini hubungan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)-Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kian mesra saja. Keduanya bahu-membahu melawan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Maklum, menteri yang disebut terakhir itu rajin menggelar jurus Rajawali Berkepak, sejak hari pertama jabatannya. Dan, tidak tanggung-tanggung, korban kepretan sang Rajawali adalah para petinggi negeri yang sarat dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Ada Menteri BUMN Rini Soemarno soal rencana pembelian pesawat berbadan lebar oleh Garuda dan, ya itu tadi, Wapres JK sendiri.
Kepretan sang Rajawali Rizal Ramli bermula pada program pembagunan pembangkit listrik sebesar 35.000 mega watt (MW). Menurut lelaki yang telah menjadi aktivis sejak mahasiswa itu, program listrik 35.000 MW sama sekali tidak realistis selesai pada 2019. Paling banter, kalau pun dikebut, hanya bisa menyelesaikan 16.176 MW. Itu pun dengan banyak asumsi, antara lain pertumbuhan ekonomi tidak makin terpuruk seperti yang terjadi yang belakangan ini terjadi. Pasalnya, jika ekonomi terus memburuk, dipastikan kebutuhan listrik, terutama untuk industri, bakal melorot juga.
Menurut Rizal Ramli, berdasarkan kajian dari tim ahlinya, kalau program 35.000 MW dipaksakan, maka akan membahayakan keuangan PLN. Bahkan bisa berujung pada kebangkrutan. Lewat kajian tersebut, dengan asumsi ekonomi tumbuh 7,1%, diketahui kebutuhan riil listrik pada saat beban puncak sampai 2019 adalah sebesar 74.525 MW. Pada 2015, beban puncak mencapai 53.856 MW. Saat ini pembangunan pembangkit listrik yang tengah berlangsung sebesar 7.000 MW. Jika program listrik 35.000 MW dipaksakan ditambah 7.000 MW yang tengah berlangsung, maka akan ada ketersediaan kapasitas pembangkit sebesar 95.586 MW sampai 2019
Padahal, kebutuhan sampai 2019 pada beban puncak hanya 74.525 MW. Itu pun dengan asusmsi ekonomi tumbuh 7,1%. Padahal sekarang aja ekonomi kita hanya tumbuh kurang dari 5%. Maka akan ada kapasitas yang idle sebesar 21.331 MW. Sesuai aturan yang ada, PLN harus membeli listrik yang dihasilkan swasta. Inilah yang Menko Maritim dan Sumber Daya maksudkan bisa membuat PLN bangkrut.
Rizal Ramli tidak mengada-ada. Asal tahu saja, sesuai ketentuan yang ada, PLN diwajibkan membeli 72% listrik yang dihasilkan swasta, baik digunakan PLN maupun tidak digunakan. Itu artinya, ada kewajiban PLN untuk membeli listrik swasta sebesar tidak kurang dari US$ 10,763 miliar per tahun. Hitung-hitungannya begini:
21.331 MW x 8760 jam x 0,72 x US$80/MW = US$10.763.110.565. Bayangkan, PLN harus membayar US$10,763 miliar/tahun! Dahsyat sekali, kan?
Sayang sekali, hitung-hitungan logis sepert ini sepertinya tidak masuk dalam benak Wapres JK. ‘Lucu’nya lagi, Menteri ESDM Sudirman Said juga ikut-ikutan kehilangan nalar karena membela JK. Dalam banyak kesempatan, kepada wartawan dia menyatakan tetap keukeuh dengan target proyek listrik yang 35.000 MW. Baik JK maupun Sudirman sepertinya tidak mau tahu dampaknya bagi PLN jika pun (sekali lagi, jika) program itu bisa direalisasikan. PLN bangkrut!!!
Ada apa gerangan? Kenapa Sudirman begitu ngotot? Ternyata, hubungan JK-Sudirman bukan sekadar relasi antara Wapres-menteri. Sudirman sudah lama menjadi ‘penjaga gawang’ kepentingan bisnis keluarga Kalla. Masih ingat, bagimana dia gigih membela pembangunan proyek gas alam cair atawa LNG Receiving Terminal di Bojanegara, Jabar? Proyek senilai Rp6,8 Triliun itu merupakan kerjasama antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Bumi Sarana Migas. Nah, perusahaan mitra Pertamina itu dimiliki oleh Solihin Jusuf Kalla.
Dikaitkan dengan posisinya sebagai Menteri ESDM yang diraihnya atas rekomendasi JK, maka terjawab sudah kenapa Sudirman ngotot. Dia ingin memberi ‘upeti’ kepada sang majikan agar posisinya aman. Untuk mengamankan posisinya, beberapa pekan silam, dia bahkan mengangkat karib JK sejak SMA, Tanri Abeng menjadi Komisaris Utama Pertamina beberapa minggu lalu, menggantikan Sugiharto. Akhirnya memang terbukti, jurus upeti itu terbukti ampuh. Sudirman lolos dari tebasan pedang reshuffle.
Namun, berdasarkan desakan para politisi PDIP dan kalangan LSM, maka Rini dan Sudirman hampir pasti dicopot dalam reshuffle jilid II nanti, kecuali kalau Jokowi mau menggali lubang kuburnya sendiri ! (berbagai sumber)