Clik here to view.

KONFRONTASI-Pakar Hypnoterapi Dewi P Faeni mengatakan selama diperiksa sebagai saksi, Jessica menunjukkan sikap yang tenang dan bahkan banyak tampil di televisi.
"Jika seseorang tidak bersalah, tidak perlu menjustifikasi harus mengiklankan dirinya. Kalau dia tidak bersalah harusnya dia akan diam seperti saksi-saksi lainnya, kan tidak melakukan justifikasi di media-media. Tidak perlu ada defense mechanism," ungkapnya di Waroeng Daun, Jl Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (30/1/2016).
Selama tampil di media elektronik, Jessica menurut Dewi menunjukkan tanda-tanda orang yang tidak mengatakan hal sesungguhnya.
"Eye movementnya sangat cepat, ini suatu refleksi dari nervous. Terus sering melihat ke atas kanan, itu berarti orang sedang berusaha membangun fakta, bisa jadi dia tidak mengatakan sesungguhnya. Saya hanya lihat dia dari facial ekspresi. Walau di akhir-akhir sudah mulai tenang, sudah seperti dilatih," jelasnya.
Jika orang berbicara sambil melihat ke atas kiri, dikatakan Dewi, biasanya sedang berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Namun Dewi menyebut ada dua kemungkinan mengapa Jessica menunjukkan ekspresi seperti itu. Pertama adalah karena memang belum terbiasa sehingga itu perilaku bawah sadarnya. Kedua Jessica menyebunyikan sesuatu.
Tak hanya itu, Dewi juga melihat adanya inkonsistensi yang dilakukan oleh Jessica. Pertama adalah saat dia yang memesankan minuman untuk Mirna dan temannya, Hani, kemudian langsung membayarnya.
"Lalu jam 4 sore kenapa harus minum cocktail? jam segitu biasanya minum kopi. Menurut saya ada sesuatu yang membuatnya deg-degan sehingga harus meminum sesuatu untuk sedatifnya. Dilihat cocktail, ada faktor alkoholnya. Itu suatu kecurigaan. Menurut saya cocktail di sore hari itu ganjil. Ada inkonsistensi-inkonsistensi," terang dia.
Kecurigaan lain dilihatnya saat Jessica seolah-olah tidak terdampak dengan pemeriksaan yang dilakukan polisi. "Ada saksi lain saat ditanya ketakutan menutupi rambut. Tersangka yang sekarang ditangkap malah seperti menikmati. jadi ini patut dicurigai. Kalau mau lihat seseorang mengatakan sebenarnya, cukup dilihat dari ekspresi muka. Mata adalah jendela," tuturnya.
Cara-cara yang dilakukan Jessica melalui media dinilai sedang beradu argumen dengan pihak kepolisian. Tak ada tanda-tanda kesedihan setelah kematian sahabatnya juga disebut Dewi patut dipertanyakan.
"Saat ada seseorang yang kita kenal meninggal, yang tak ada kedekatan pun itu akan menimbulkan dampak. Apalagi itu orang yang punya kedekatan emosional. Harusnya ada perasaan sedih, empati. Sepert yang terlihat di beberapa saksi, sangat-sangat tegang. Itu yang tidak saya lihat di person itu (Jessica)," tukasnya.
Mantan hakim Asep Iwan Iriawan melihat dari kaca mata hukum, orang tidak bisa dikatakan begitu saja bersalah hanya dengan 5 menit berbicara (gestures). Perlu ada pembuktian yang meyakinkan di pengadilan.
116 0 275
Bagi psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menilai pelaku pembunuhan Mirna bukanlah Jessica. Sebab ada berbagai kejanggalan jika dilihat dari ilmu yang dipelajarinya.
"Saya sampai hari ini tidak yakin pelaku adalah J, kedua saya tidak yakin ini pembunuhan yang mengincar korban sesungguhnya, saya kuat menduga ini salah sasaran," ungkap Reza dalam diskusi Polemik di Waroeng Daun, Jl Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (30/1/2016).
Dari pandangan Reza, ada seorang intellectual leader dalam kasus Mirna ini. Terlebih senjata pembunuhan adalah racun, yang berarti, menurut Reza, pelaku ingin mengambil jarak dari TKP pembunuhan.
"Teori itu mengatakan bahwa kejahatan hanya bisa terjadi kalau ada 3 unsur. Ada pelaku, lokasi, dan korban di situ. Kita lupa alat kejahatan racun. Kalau badik atau tangan kosong, harus berhadap-hadapan secara frontal," jelas Reza.
"Tapi ini racun, logikanya karena pelaku ingin mengambil jarak. Itu sebabnya dia menggunakan racun. Hanya racun yang memungkinkan mengambil jarak sejauh-jauhnya. Ada eksekutor di situ, tapi saya yakin ada yang membuat master plan-nya. Matang dalam perencanaan tapi kacau balau saat pelaksanaan," sambungnya.
Untuk itu Reza menduga bahwa pelaku sebenarnya dalam kasus ini justru berada di luar lokasi pembunuhan. Mirna tewas saat meminum kopi di sebuah kafe yang berada di Mall Grand Indonesia.
"Walaupun korban dan lokasi ada, pelaku belum tentu ada di situ. Ketika mengatakan pelaku, kita membayangkan orang yang melakukan hanya satu. Kita harus kembali bahwa senjatanya adalah sianida. Jadi menurut saya pelaku tidak ada di meja korban," tutur Reza.
Sianida bukan racun yang gampang dibeli di pasaran. Untuk bisa bisa membunuh seseorang yang bukan tokoh penting, risikonya disebut Reza sangat berat.
"Saking berbahayanya, di beberapa negara hanya bisa beli khusus, via online karena pembeli harus memasukkan data, lisensinya, ingin digunakan untuk apa dan sebera banyak. Kalau data yang dibeli siampang siur, maka pembelian akan dicegah," ucap Reza.
"Kita bandingkan sianida yang ekslusif, sangat tidak sebanding antara instrumen dengan korban. Saya tidak yakin kasus ini akan terungkap," tambah dia.
Reza justru menggarisbawahi mengenai dampak terhadap Jessica sendiri jika memang ia bukanlah pelaku sebenarnya. Dengan segala publisitas yang akhirnya memunculkan opini publik, akan sangat tidak tepat jika ternyata pengungkapan kasus ini salah.
"Yang dialami Jessica itu mimpi buruk. Bahwa ketika proses pidana ketika teman-teman di Polda Metro Jaya mengalami kekikukan, itu terasa. Bukan itu muncul sedemikian rupa, yang parah adalah sanksi sosialnya itu menciptakan ketersiksaan tersendiri bagi seseorang," tukas Reza.
"Saya lihat jawaban Jessica runut, tenang, dan spontan. Ada kejujuran dari dia. Menurut saya kalau dengan dia berkeliling ke TV, kalau dia pembunuhnya itu terlalu nekat. Jadi ini ini butuh pembuktian. Bukan alat bukti imijinatif atau kira-kira. Harus bukti yang sah dan meyakinkan," kata Asep.
Asep juga meminta pihak kepolisian untuk hati-hati dalam menangani kasus yang dinilainya cukup sulit ini. Sebab dari pengalamannya selama ini, tak sedikit tersangka atau bahkan terdakwa yang dibebaskan karena pembuktian yang kurang.
"Kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah, jangan sedang-sedang. kalau tidak cukup bukti tidak perlu naik ke penuntutan. Pertanggungjawaban dunia akhirat. Perlu diiingat, teman-teman hakim punya prinsip: persetan dengan opini publik, yang kita lihat pembuktian di persidangan," ucap Asep.