
KONFRONTASI- Kekalahan kaum sosialis demokrat Venezuela dalam pemilihan legislatif, Minggu (6/12/2015), mengundang perhatian kaum progressif di Amerika Latin. Tidak terkecuali Presiden Bolivia, Evo Morales.
Presiden Evo Morales mengajak para pemimpin progressif di Amerika Latin untuk memperkuat tekad mereka melawan imperialisme. Namun demikian, kata Evo, mereka harus belajar dari kemenangan oposisi sayap kanan di Venezuela guna menguatkan kembali gerakan kiri di kawasan ini.
“Imperialis tidak pernah tidur. Mereka menggunakan berbagai cara untuk melawan rakyat dan pemerintahan anti-imperialis,” kata Evo, seperti dikutip di laman media lokal.
Lebih lanjut Evo bilang, “kaum imperialis terus-menerus bersekongkol dan itulah yang terjadi sekarang: agresi ekonomi, perang ekonomi, yang memungkinkan imperialis berhasil merebut kembali kontrol geopolitik di kawasan kita.”
Karena itu, Presiden berhaluan sosialis ini mengajak kaum progressif, baik nasionalis kiri, marxis, sosialis, teologi pembebasan, dan lain-lain, untuk melakukan “refleksi mendalam” dan menemukan strategi baru untuk mempertahankan “sosialisme abad 21” di Amerika latin.
Ia juga mengajak semua kekuatan progressif di Amerika latin untuk bersatu melawan pasang naik sayap kanan di kawasan Amerika latin.
Meski demikian, Evo juga memuji pelaksanaan pemilu di Venezuela yang berlangsung demokratis. “Ini membuktikan bahwa institusi Republik Bolivarian dapat diandalkan,” katanya seperti dilansir Berdikari online.
Untuk diketahui, Venezuela baru saja melangsungkan Pemilu legislatif. Dalam pemilu itu, koalisi partai oposisi, Democratic Unity Roundtable (MUD), berhasil meraih 99 kursi. Sedangkan koalisi sosialis yang sedang berkuasa, Great Patriotic Pole (GPP), hanya mendapat 46 kursi.
SEJARAH EKONOMI AMERIKA LATIN
Di tahun 2005, mantan Presiden Argentina Nestor Kirchner, setelah melunasi utang negerinya kepada Dana Moneter Internasional (IMF), mengatakan, IMF telah bertindak terhadap negara kami layaknya promotor dan kendaraan kebijakan yang menyebabkan kemiskinan dan rasa sakit.
Sejarah keterlibatan IMF di Amerika Latin dapat ditelusuri kembali di tahun 1980-an, yang dikenang sebagai ‘dekade yang hilang’, dimana Amerika Latin mengalami krisis ekonomi terberat sejak krisis depresi besar: hubungan umum antara bangsa adalah utang eksternal mereka terhadap sistim perbankan swasta internasional.
Berbeda dengan krisis depresi besar, selama tahun 1980-an, Amerika latin berhadapan dengan tekanan kuat untuk menghindari gagal bayar berkepanjangan dan dipaksa mengadopsi kebijakan makro-ekonomi yang didesakkan oleh IMF.
Akibatnya, sebagaimana dicatat ekonom Mark Weisbrot, “sejak Bank Dunia dan IMF memulai kebijakan penyesuaian struktural mereka di awal 1980-an, hampir semua negara di benua ini mengalami pertumbuhan nol.” Sementara pada dekade sebelumnya rata-rata di atas 4 persen.
Masa Terbaik, Masa Terburuk
Tingkat pertumbuhan nol persen dimulai ketika Amerika latin mengakumulasi utang secara massif selama tahun 1970-an. Likuiditas dalam jumlah besar membanjiri pasar kapital internasional, dan sebagai akibatnya, suku bunga turun drastis.
Merespon situasi itu, negara-negara Amerika Latin makin doyan mencari pinjaman. Dan banyak hanya senang dengan pengaturan. “Pinjaman murah adalah godaan yang menggoda,” demikian dikatakan sejarahwan ekonomi Victor Bulmer-Thomas.
Hampir semua negara Amerika Latin, terutama mereka yang diperintah oleh diktator militer, meminjam lebih banyak lagi tahun itu, dan menggunakan uangnya untuk membiayai pengeluaran saat itu, tanpa memikirkan penaikan pajak, untuk berinvestasi pada proyek “gajah putih”—proyek raksasa yang tidak menguntungkan.
Kadang-kadang uang tersebut masuk ke kantong koruptor. Tetapi pinjaman menyenangkan waktunya akan berakhir.
Karena sebagian besar pinjaman itu dalam bentuk dollar AS, dan dollar AS dan krisis minyak tahun 1970-an di AS menyebabkan kenaikan suku bunga, yang dikenal sebagai ‘Volcker Shock’, pembayaran bunga meningkat, yang berarti negara-negara Amerika latin tidak sanggup membayar utang mereka.
Sebagai responnya, pemerintah AS—yang putus asa menghindari kerugian Wall Street—langsung memobilisasi Bank Dunia dan IMF untuk menggelontorkan dana talangan dalam jumlah besar untuk pemerintah negara berkembang di seluruh dunia.
Dimulai dengan dana talangan 4 miliar USD untuk Meksiko, IMF dan Bank Dunia segera melihat kenaikan keuntungan secara internasional. Dan tidak mengejutkan, mereka segera dituding membela bank-bank besar—bukannya kepada negara-negara miskin yang katanya mau ‘ditalangi’.
IMF Datang Untuk ‘Menyelamatkan’
‘Penyelamatan’ dari krisis utang ini akan menghadirkan apa yang disebut ‘Washington Consensus’, sebuah paket kebijakan berisikan resep yang dipaksakan oleh Bank Dunia dan IMF berupa kebijakan neoliberal seperti arus bebas investasi, deregulasi sektor keuangan, kekuasaan berlebih bank swasta, prioritas untuk pembayaran utang, dan pemotongan belanja sosial. Namun, inilah yang mendatangkan bencana bagi ekonomi Amerika latin.
Seperti dikatakan mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Joseph Stiglitz, ketika krisis melanda Asia di tahun 1997-1998, “resep yang ditentukan oleh lembaga keuangan internasional ini benar-benar membunuh pasiennya.”
Dan mantan Menteri Keuangan Kolombia, Jose Antonio Ocampo, bilang, respon yang disebut dana talangan ini “adalah cara terbaik untuk mengatasi krisis perbankan di AS, tetapi sekaligus cara paling mengerikan dalam mengatasi krisis di Amerika latin.”
Semua itu berarti, sementara bank-bank di AS memutar keuntungan yang berlipat dari suku bunga yang tinggi, Amerika latin sedang terperosok dalam krisis ekonomi terburuk dalam sejarahnya.
Selama dua dekade berikutnya, Amerika latin nyaris tidak mengalami pertumbuhan, kemiskinan meningkat, dan semua indikator sosial memburuk. Sebagian besar karena resep kebijakan neoliberal yang didesakkan oleh Bank Dunia dan IMF.
Bangkit Untuk Melawan
Tapi semua itu berubah di tahun 2003, ketika Nestor Kichner menyatakan ‘tidak mampu membayar utang’ sementara kepada IMF, ketimbang menerima resep yang dipaksakan oleh IMF. Ini adalah langkah luar biasa berani—belum ada negara berpendapatan menengah yang pernah menyatakan ‘tidak mampu bayar utang’ kepada IMF.
IMF menyerah dan bersedia memperpanjang pembayaran pinjamannya.
Sehabis itu, ekonomi Argentina terus tumbuh 8 persen dan mengeluarkan 11 juta orang—hampir seperempat dari penduduknya—dari kemiskinan.
Kemenangan Argentina dari persitegangan dengan IMF bersamaan dengan merosotnya pengaruh lembaga keuangan ini di kawasan Amerika latin seiring dengan efek berantai kemenangan presiden berhaluan kiri yang menolak kebijakan neoliberal. Dari Venezuela hingga Bolivia, era IMF akhirnya berakhir.
Dan sejak itu, IMF—alat paling penting bagi AS untuk menancapkan pengaruhnya di negara berpendapatan rendah dan menengah—juga berkontribusi melemahnya pengaruh AS, terutama negara-negara yang baru-baru ini merdeka di Amerika selatan.
Hari ini, situasi telah berubah total. Negara-negara Amerika latin tidak lagi masuk daftar negara peminjam (debitur) terbesar di dunia. Sekarang mereka beranjak menjadi negara industri. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Deutsche Bank Research, utang publik dari 10 negara paling berkembang di dunia turun dari 50 persen menjadi 25 persen dari PDB mereka antara 2000-2012, sementara rasio dengan negara anggota G-7 tumbuh dari 80 persen hingga 110 persen pada periode yang sama.
(k)