KONFRONTASI-Sengkarut laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said terhadap Ketua DPR Setya Novanto yang diduga melakukan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakilnya Jusuf Kalla harus dijadikan momen pemerintah membenahi kabinetnya.
Laporan yang dilakukan Sudirman terkait dugaan pencatutan nama Jokowi dan JK dinilai hanya membuat gaduh. Dengan itu, Jokowi selaku kepala negara harus segera mengambil tindakan yang tepat.
"Kegaduhan Freeport dan Pelindo II dapat dijadikan momentum bagi Presiden Jokowi untuk menyingkirkan menteri yang dapat merusak negara. Monggo dibersihkan dengan adanya momentum tersebut," kata Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, Jakarta, Minggu (22/11/2015).
Dia menduga, kegaduhan itu sengaja dibuat untuk memecah belah bangsa. Dan masalah Freeport dinilai suatu tindakan kolonialisme dijaman modern yang seharusnya dihadapi bersama. Dimana Freeport saat ini mengulang peristiwa masa lalu, dengan melakukan adu domba pejabat yang ada di Indonesia.
"Sejarah Freeport ini tak luput dari sistem kolonialisme gaya baru. Dan saat ini, Freeport mengulangi gaya kolonialisme yang secara kasat mata di jaman era modern," ujar Masinton.
Menurutnya, seharusnya negara Indonesia kaya akan sumber daya alam ini mendapat lebih banyak hasil pendapatan dibanding Freeport yang selalu mengeruk kekayaan alam selama 48 tahun.
"Kita harus tegas terhadap Freeport terkait kontrak karya, karena sebenarnya ini adalah kolonialisme yang tersisa di negara kita hingga saat ini," jelas dia.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat politik dari Global Future Institute, Hendrajit juga menilai bahwa permasalahan Freeport serupa dengan masa penjajahan VOC. Dia menyebut Freeprot adalah gaya baru dengan melakukan parasit tersamar.
"Freeport merupakan wujud VOC gaya baru dan sedang melakukan mapping kekuatan di Indonesia. Elit politik bukannya menjadi nasionalis yang ingin bisa menangkis serangkaian asimetris, namun justru berebut menjadi komprador," ujar Hendrajit.
Menurutnya, penjajahan jaman sekarang tidak hanya menggunakan militer, namun bisa dari sektor energi maupun pangan.
"Anda menguasai energi, anda menguasai negara. Apabila anda menguasai pangan, anda menguasai kehidupan rakyat, doktrin ini masih berlaku sampai hari ini," jelasnya.
PT Freeport Indonesia sendiri mengaku siap mengikuti berbagai keperluan proses yang berkaitan dengan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto.
Dalam transkipan pertemuan yang mengemuka, Setya Novanto terlibat pembicaraan dengan pimpinan Freeport Indonesia Maroef Syamsuddin. Transkipan pembicaraan itu juga melibatkan pejabat tinggi negara, hingga pengusaha kelas kakap bidang minyak dan gas bumi (migas).
Juru Bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama menuturkan, perusahaan menyerahkan sepenuhnya proses yang kini berjalan oleh kewenangan teknis. Sejauh ini, kasus tersebut masih menjadi pembahasan di tingkat Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD).
"Kita ngikutin pemerintah saja. Itu kan prosesnya masih di pihak yang berwenang. Kita ikutin prosesnya saja," kata Riza di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (23/11/2015).
Saat dikonfirmasi kesiapan perusahaan jika nantinya dipanggil oleh MKD, Riza menjawab diplomatis. Ia bilang, perusahaan akan menjalankan berbagai tindakan sesuai dengan aturan.
"Kita ikutin aturan saja. Kita ikut yang berwenang," katanya
Keinginan Pemerintah membeli 10,64% saham PT Freeport Indonesia (Freeport)sebagai implementasi kewajiban divestasi diragukan. Pasalnya, negara tak punya dana yang cukup.
"Kalau mau dimiliki pemerintah (saham Freeport), darimana duitnya. Itu yang jadi soal. Kau (Indonesia) punya teknologi enggak? Punya duit enggak?" tegas Anwar Nasution, gurubesar FEUI kepada INILAHCOM usai menjadi nara sumber dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (21/11/2015).
Anwar menilai, Indonesia seharusnya bersyukur karena kekayaan alam di tanak Papua dikelola oleh perusahaan sebesar Freeport. Dalam hal ini, Freeport telah menyokong keuangan negara dengan membayar pajak dan royalti.
"Bukannya saya mendukung Freeport, tapi saya pikir negaramu belum mampu beli. Itu kayak menggarong namanya. Diakan (Freeport) sudah bayar pajak, sudah melakukan alih teknologi. Sekarang ada enggak kau (Indonesia) punya kemampuan? Kalau kita tidak punya kemampuan, perpanjanglah dia (Freeport). Kau dapat apa dari situ, pajak," tegas Anwar.