
KONFRONTASI- Prof Hikmahanto Juwana, gurubesar hukum internasional dan moderator debat Jokowi-Prabowo tempo hari, mengatakan: "keterlibatan dalam Trans-Pacific Partnership akan memaksa Indonesia merevisi banyak undang-undang dan konsep kedaulatan negara spt tertuang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar." Sementara Indonesia for Global Justice (IGJ) menyayangkan rencana Presiden Jokowi masuk Trans Pacific Partnership (TPP). Karena, posisi tawar Indonesia bisa semakin jeblok.
Pakta perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) dengan komando Amerika Serikat. "Posisi Indonesia yang akan bergabung ke TPP, setelah 12 negara menyepakati aturan TPP bakal semakin sempit. Tidak akan banyak ruang untuk bernegosiasi," kata Manajer Riset dan Monitoring IGJ, Rachmi Hertanti di Jakarta, Rabu (28/10/2015).
Menurut Rachmi, rendahnya posisi tawar Indonesia, membuat tak ada pilihan selain mengikuti standar yang telah disepakati. Dengan kesepakatan TPP, peluang perusahaan asing mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa yang dibiayai APBN, membesar
Masuknya RI ke dalam TPP menjadi pertanyaan publik: Presiden Jokowi tidak tahu opo-opo atau cuma ngikut kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong? Pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam Trans Pacific Partnership mengiikuti sejumlah negara tetangga di Asean lainnnya memunculkan satu konsekuensi.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan negara-negara yang baru bergabung, biasanya akan mendapatkan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan negara yang ikut dari awal pembentukan kerja sama tersebut.
“Minimum kita harus, kita diminta apa yang mereka sepakati. Kemungkinan mereka akan minta tambahan. Artinya threshold-nya lebih keras.”
Hal yang sama pernah terjadi ketika China masuk ke WTO. “Semua dibuka, dia harus nurut. Ongkosnya mahal buat dia untuk bergabung,” kata Bachrul Jumat (9/10/2015).
Selama ini, lanjut Bachrul, memang bisa dikatakan bahwa antusiasme dari kementerian dan lembaga terhadap free trade agreement (FTA) terbilang masih kurang, karena melihat FTA sebagai ancaman dibandingkan dengan peluang.
Tetapi pandangan tersebut tidak bisa disalahkan karena kondisi daya saing produk Indonesia masih kurang, ongkos produksi masih terbilang tinggi, dan daya saing rata-rata perusahaan Indonesia masih di bawah perusahaan Asia lainnya.
“Itu merupakan reaksi yang wajar. Tetapi dengan perubahaan sekarang, seharusnya kita bisa mengubah pola pikir dan harus melihat dari manfaatnya ke depan.”
Adapun, menurutnya dengan adanya TPP konsekuensi yang akan ditimbulkan adalah adanya diversifikasi perdagangan di Asean. Jika Indonesia tidak bergabung, produk-produk ekspor Indonesia seperti tekstil, produk karet, furnitur, dan produk-produk lainnya akan kalah bersaing dengan negara kompetitor yang merupakan anggota TPP karena mereka mendapatkan tarif masuk yang lebih rendah.
Sementara itu, Indonesia for Global Justice (IGJ) menolak Indonesia masuk dalam TPP seperti dimuat dalam situsnya, Igj.or.id. IGJ menyebutkan ada 10 alasan Indonesia harus menolak TPP.
IGJ bercermin dari pengalaman Malaysia dan Vietnam tentang TPP yang memberikan dampak buruk terhadap perekonomian nasional. Bahkan, menurut IGJ, bergabungnya Indonesia dengan TPP bahkan berpotensi menghilangkan kedaulatan negara serta bertentangan dengan UUD 1945.
Berikut 10 catatan pengalaman penting kenapa TPP akan buruk untuk Indonesia
1. Hilangnya kontrol negara atas sektor publik.
TPP mendorong negara-negara untuk membuka sektor publiknya untuk dapat dimasuki oleh investasi asing, khususnya Amerika, hingga 100 persen. Segala bentuk daftar negatif investasi di sektor ini diminimalisasi. Tentu penguasaan sektor publik oleh korporasi akan berdampak terhadap hilangnya akses masyarakat terhadap sektor publik strategi secara murah, seperti air dan listrik.
2. Dominasi perusahaan asing dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
TPP mendorong agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat diakses oleh perusahaan asing sehingga TPP mengatur tentang perlunya prinsip nondiskriminasi dan national treatment untuk perusahaan asing dalam kegiatan ini. Hal ini karena AS mengincar bisnis pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai triliunan dolar AS.
3. 'Memandulkan’ BUMN bagi kepentingan nasional.
TPP hendak memastikan negara tidak memberikan banyak subsidi untuk BUMN sehingga korporasi asing bisa memenangkan kompetisi. Selama ini, BUMN dianggap telah memonopoli bisnis di level domestik melalui dukungan negara, baik dalam bentuk pinjaman yang murah, pengecualian pajak, maupun kemewahan untuk dapat mengecualikan sebuah undang-undang. TPP akan menerapkan prinsip nondiskriminasi serta hukum kompetisi yang ketat bagi BUMN.
4. Hilangnya akses terhadap Obat-obatan murah
Penerapan standar perlindungan paten dalam aturan hak kekayaan intelektual (HKI) dalam TPP telah menghilangkan akses masyarakat terhadap obat-obatan yang murah. Hal ini karena TPP menghapus ketentuan fleksibilitas The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dalam WTO, yang selama ini digunakan banyak negara untuk membuat obat generik dari obat-obatan yang dipatenkan oleh perusahaan farmasi Amerika demi kepentingan publik. Penghapusan ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP mengakibatkan monopoli obat-obatan oleh korporasi asing dengan harga mahal. Apalagi TPP menerapkan standar perlindungan lebih tinggi dari TRIPS di WTO, yakni dengan jaminan perlindungan paten lebih dari 20 tahun. Selain itu, TPP juga menerapkan eksklusivitas data yang telah dipatenkan.
5.Terancamnya kedaulatan pangan dan kedaulatan petani.
Masih terkait dengan penerapan standar perlindungan paten dalam aturan HKI pada TPP, sektor pertanian akan mengalami hal yang sama dengan sektor obat. Selama ini, perusahaan benih dan pestisida asing, seperti Bayer, Monsanto, maupun DuPont, telah memonopoli benih-benih ciptaannya. Karenanya, tidak memungkinkan petani kecil membudidayakan. Dengan jaminan perlindungan paten yang tinggi dalam TPP, korban-korban kasus kriminalisasi benih akan meningkat akibat diberlakukannya TPP.
6. Buruh terus tertindas.
TPP hendak melarang negara membuat regulasi yang melindungi buruh, bahkan tidak menginginkan adanya proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin investor. Selain itu, arus bebas tenaga kerja asing untuk tenaga kerja profesional juga menjadi salah satu agendanya.
7. UMKM tergilas.
Penghapusan tarif hingga batas serendah-rendahnya akan memudahkan produk AS dan negara industri lainnya masuk, ketimbang masuknya produk barang Indonesia ke sana. Apalagi standar akses pasar yang tinggi dalam TPP akan berpotensi menghilangkan kemampuan sektor usaha kecil Indonesia untuk dapat masuk ke pasar negara-negara TPP.
8. Defisit perdagangan.
Jika Indonesia bergabung dengan TPP, penghapusan hambatan tarif tidak akan memberi dampak positif dalam meningkatkan kinerja perdagangannya, khususnya di tengah situasi pelemahan ekonomi global saat ini. Hal ini didukung dengan data perdagangan Indonesia dengan ke-12 negara anggota TPP, 80 persen di antaranya terus mengalami kecenderungan negatif dari seluruh total perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia terus menunjukkan defisit, seperti Australia, Brunei, Cile, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam. Bahkan, ada beberapa negara yang menunjukkan tren perdagangan Indonesia dengan mitranya ini di sepanjang 2010-2014. Hal itu menunjukkan kecenderungan negatif, seperti dengan Amerika Serikat (-0,11 persen), Brunei (-9,42 persen), Cile (-6,86 persen), dan Jepang (2,57 persen).
9.Impor undang-undang Amerika.
Aturan TPP hendak mengadopsi seluruh standar regulasi AS yang selama ini dipromosikan melalui OECD sebagai praktek terbaik dalam pengambilan keputusan. TPP mewajibkan negara melakukan review regulasi dalam rangka menilai kepatuhannya terhadap aturan-aturan TPP.
10. Indonesia digugat korporasi asing senilai triliunan dollar AS.
TPP memasukkan aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa antara Investor dan negara, atau dikenal dengan Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Masuknya ISDS dalam TPP akan membuka peluang Indonesia digugat oleh investor senilai triliunan dolar AS di lembaga arbitrase internasional akibat mengganti ataupun mengubah regulasi nasionalnya yang dianggap merugikan kepentingan investor asing. Ancaman gugatan ini mengakibatkan Indonesia tersandera dan enggan membuat undang-undang yang melindungi kepentingan rakyat.(k)