Quantcast
Channel: PT Pelabuhan Indonesia Pelindo
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Ahok, Jokowi dan Islam Politik yang Menegang

$
0
0

KONFRONTASI-  Isu Ahok terus menimbulkan gaduh politik.Ketegangan politik antara kalangan Islam dan kubu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus bergulir memanjang, memanas dan mungkin tak berkesudahan. Demo umat Islam di bawah koordinasi Forum Umat Islam (FUI), menunjukkan tekanan, bahkan ancaman politik yang serius. Mengapa demikian?

Selasa ini, perwakilan demonstran yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam Muhammad Al Khathath meminta kepada pimpinan DPR untuk memperjuangkan aspirasinya kepada Presiden Jokowi. Aksi demo ini berasal dari MUI, sampai MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dimana 15 organisasi massa bergerak, sampai tuntutannya selesai

Ahok dan Islam Politik: Tegangan Tak Berkesudahan

Selain itu, Al Khathath meminta kepada majelis hakim untuk segera menahan Ahok karena dianggap tidak mampu menjaga ucapan.

Bahkan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain mengatakan, demonstran akan menginap di depan Gedung DPR-MPR jika tuntutannya tidak terpenuhi.

Aksi yang menuntut pemberhentian sementara Basuki Tjahaja Purnama dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu, digelar Selasa ini (21/2/2017). Ribuan umat Islam menyatakan siap beraksi dengan fokus aspirasi hukum dan keadilan. Demonstrasi kaum Muslim ini tak bermaksud menyampaikan aspirasi politik, melainkan aspirasi hukum dan keadilan.

Tapi implikasinya, sangat kuat secara politik dan mencuatkan ketegangan sosial-politik di tengah banjir Jakarta yang menggenang.

Apalagi, kalau tuntutannya tidak dipenuhi, dua hari tidak, tiga hari tidak dipenuhi, para demonstran Islam itu mau menginap di parlemen (gedung DPR/MPR). Situasi ini rentan dan rawan politik.

Masuk akal kalau PP Pemuda Muhammadiyah menilai, status Ahok yang tetap menjabat sebagai Gubernur DKI meski sudah menjadi terdakwa kasus penodaan agama ini menimbulkan kegaduhan di publik.

Dalam hal ini, Presiden Jokowi bersikap ambigu karena masih menunggu pandangan hukum yang resmi, dari Mahkamah Agung atau Pengadilan Tata Usaha Negara soal Ahok itu.

Alasannya, Jokowi tidak mau terjebak dengan opini pribadi setiap individu. Dan, itu masuk akal juga.

Pemerintah sebelumnya sudah meminta fatwa Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak dan mengembalikan keputusan ke Kementerian Dalam Negeri. Artinya, pemerintah hanya tinggal menunggu keputusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara.

Secara aspek yuridis, pembuktian salah atau tidak seseorang hanya dapat ditentukan melalui putusan hakim melalui jalur pengadilan.

Sebelum ada putusan pengadilan, seseorang belum bisa dinyatakan bersalah. Berdasarkan Pasal 83 UU tentang Pemda, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara.

Namun, pemberhentian sementara itu berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kaitan ini, dakwaan Ahok terdiri dari dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara itu, Pasal 156 a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.

Di sini, kasus Ahok memiliki aspek legal-formal ranah hukum yang berbenturan dengan aspek moral-etis. Sebagai terdakwa, dalam persepsi umat Islam, secara moral-etis dia tidak patut/pantas tetap menjabat gubernur. Namun dari sisi hukum yang legal-formal, Ahok dan kubunya merasa pantas/patut tetap menjabat.

Oleh sebab itu, desakan dan demo umat Islam dibaca kubu Ahok sebagai bentuk intimidasi dan tekanan politik yang ujung-ujungnya seakan benturan kepentingan bahkan benturan nilai dan peradaban di kalangan bangsa kita sendiri. Benarkah demikian?

Bagi pemerintahan Jokowi, hal itu terasa sungguh dilematis dan ruwet karena masing-masing pihak memiliki cara pandang dan paradigma nilai-nilai yang berbeda. Karena itu, diperlukan ketegasan moral-etis pihak pemerintah dalam melihat kasus Ahok secara menyeluruh agar kasus penistaan agama oleh Ahok tak jadi bumerang yang bisa menusuk tubuh pemerintahan Jokowi sendiri. Kasus penistaan agama yang sudah mendapat fatwa MUI dan mengundang reaksi keras umat Islam itu sangatlah rentan, riskan dan berisiko kalau rasa keadilan masyarakat, terutama kaum Muslim, tidak dipedulikan, apalagi diabaikan.

( http://nasional.inilah.com/read/detail/2361288/ahok-dan-islam-politik-te...)

Bagaimanapun, kasus Ahok ini menjadi pelajaran yang pahit dan berharga, yang seyogianya bisa dituntaskan secara adil, jujur dan damai agar tidak memicu kekerasan politik yang rentan dan berbahaya bagi persatuan-kesatuan bangsa. (inilahcom/berbagai sumber)

Category: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Trending Articles