Quantcast
Channel: PT Pelabuhan Indonesia Pelindo
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Sri Mulyani, Darmin dan Gagalnya Nawacita Jokowi

$
0
0
Dalam catatan politik kejatuhan Bung Karno dan kemudian naiknya Suharto, terdapat jejak para ekonom yang dikenal sebagai Berkeley Mafia. Mereka, yang juga dijuluki the economist with guns, tak lain adalah sekumpulan intelektual yang bermazhab neoklasik yang dimotori oleh Widjoyo Nistisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dll. Para pelanjut dari geng ekonom sayap kanan ini di generasi berikutnya ada Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, dan yang termuda Chatib Basri. Berkeley Mafia sudah berkuasa lebih dari 46 tahun dengan memegang kementerian ekonomi di masa Suharto, Megawati, dan Yudhoyono (Gus Dur terkecualikan karena Berkeley Mafia tidak masuk dalam kabinet, meskipun terus merongrong). Kini di masa Jokowi, tersiar kabar bahwa geng ini hendak masuk lagi ke dalam kabinet dengan dibantu lobby berbagai pihak. Bila akhirnya tiga nama tersebut masuk kabinet Jokowi, maka perekonomian Indonesia akan mengabdi kepada kepentingan lembaga-lembaga keuangan Barat, yang menurut Jokowi dalam salah satu pidatonya: “telah menyebabkan ketidak adilan global”. Ketidak adilan global juga berarti ketidak adilan nasional. Hal ini ditunjukkan bagaimana semasa Yudhoyono, saat Boediono, Darmin, Sri, dan Chatib menjadi pimpinan otoritas moneter dan fiskal telah menyebabkan semakin timpangnya pendapatan di kalangan masyarakat Indonesia (ditunjukkan dari Indeks Gini yang meningkat dari 0,33 (di tahun 2004) ke 0,43 (di tahun 2014). Berjalannya Trisakti Bung Karno dan Nawacita Jokowi akan goyah bila “Trio Masalah” (Sri Mulyani, Darmin Nasution, dan Chatib Basri) akhirnya masuk Kabinet Kerja, karena selain masalah ideologi ekonomi terdapat juga masalah kinerja dan integritas dalam perjalanan karir ketiganya. SRI MULYANI Yang paling gemilang dari Trio ini, tentu adalah Sri Mulyani yang saat ini merupakan pejabat Bank Dunia. Kedekatannya dengan Bank Dunia dan lembaga-lembaga keuangan Barat kabarnya sudah terjadi sejak lama. Menurut kesaksian Kwik Kian Gie (di kwikkiangie.com) mantan menko perekonomian era Gus Dur, sudah sejak sebelum menjabat menteri Sri Mulyani kerap membocorkan hasil rapat Tim Ekonomi kepada IMF, Bank Dunia, dan Kedutaan AS. Karir Sri Mulyani di dalam kabinet Yudhoyono (sejak 2005) usai pada Juni 2010, diboyong ke Bank Dunia, setelah calon presiden versi Partai SRI ini memulai konflik terbuka dengan oligarkis Aburizal Bakrie sejak 2009, ketika ia berkoar-koar di publik terkait dugaan manipulasi pajak sebesar Rp2,1 triliun tahun 2007-2008 yang dilakukan tiga perusahaan grup Bakrie (belakangan Mahkamah Agung memenangkan Bakrie atas kasus ini dan Dirjen Pajak saat itu Tjiptardjo menyatakan bahwa pihak Bakrie telah mulai melunasi sebagian tunggakan pajaknya). Bersamaan juga pada tahun 2010 tersebut Sri Mulyani menjalani status terselidik dalam Pansus Angket DPR tentang Skandal Century, yang dirinya selaku Kepala LPS adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam keluarnya dana talangan (bail out) Rp 6,7 triliun untuk bank kecil yang bermasalah sejak lama seperti Bank Century. Dalam Pansus ini terungkap suatu karakter dalam diri Sri Mulyani yang kerap menyalahkan orang lain atas kebijakan yang ditandatanganinya. Dalam hal Skandal Century, meskipun tanggung jawab utama ada pada dirinya, namun ia berusaha menyeret Boediono. Karakter yang terulang kembali belum lama dalam kasus TPPI yang ditangani Bareskrim Polri, yang mana Sri Mulyani berusaha menyeret Jusuf Kalla. Kasus lain yang diduga menyeret Sri Mulyani adalah kasus penggelapan pajak sebesar Rp 400 miliar oleh Grup Ramayana milik Paulus Tumewu, di mana pada tahun 2005 dirinya selalu menteri keuangan memberikan rekomendasi pada Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan kasus ini demi “kepentingan umum”. Sri Mulyani juga kerap menyenangkan para investor di pasar keuangan dunia dengan meluncurkan yield obligasi yang kelewat tinggi. Misalnya pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond dengan yield yang diberikan sebesar 6,95%, lebih tinggi dari Malaysia 3,86%, Thailand 4,8%, dan bahkan dari Filipina (yang dijuluki The Sick Man in Asia) sebesar 6,5%. Padahal logikanya mestinya yield Indonesia maksimal 5,5%, sedikit di atas Thailand tapi di bawah Filipina. “Kebodohan” ini diulang lagi pada 2009, saat itu Sri Mulyani kembali menerbitkan global bond dengan yield 11,75%, jauh di atas Filipina 8,75% dan hanya sedikit kalah dari negara yang kesehariannya diguncang teror bom seperti Pakistan sebesar 12,5%. “Kebodohan-kebodohan” dalam menetapkan yield ini juga lah yang menyebabkan Sri Mulyani diganjar berbagai penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik oleh majalah-majalah ekonomi terkemuka seperti Euromoney dan Emerging Markets saat sidang tahunan IMF dan Bank Dunia. Di dalam negeri sendiri, penerbitan obligasi Negara yang dilakukan Sri Mulyani di pasar domestik lewat SUN juga kelewat tinggi sehingga merugikan dalam perspektif tidak mendukung upaya penurunan suku bunga perbankan. Sebagai contoh, ketika bank-bank papan atas seperti Mandiri dan BCA menawarkan suku bunga berkisar 5,25%-6,5%, pemerintahan malah memberikan tawaran bunga tetap 9,5%. Selain itu program reformasi perpajakan yang selalu digadang-gadang sebagai keberhasilan Sri Mulyani, yang didanai APBN (dari sebesar Rp 3,3 triliun di 2004 menjadi 13,4 triliun di 2010) dan pinjaman Bank Dunia (sebesar Rp1,38 triliun selama 2010-2015) pun, ternyata juga menemui kegagalan. Hal ini diperkuat dari kritik berbagai ekonom di luar pemerintahan dan penggantinya Sri Mulyani sendiri selaku menteri keuangan, Agus Martowardoyo pada Oktober tahun 2010 yang menyatakan bahwa “kinerja dirjen pajak belum optimal“. Semakin terbukti kemudian dari masih banyaknya para pengemplang pajak dan terus menurunnya penerimaan pajak sejak beberapa tahun belakangan. DARMIN NASUTION Tidak ada yang spesial dalam sosok Darmin Nasution. Banyak yang meniliai dirinya sebagai birokrat tua yang ngeyel, selain minim prestasi dalam terobosan kebijakan semasa dirinya memimpin otoritas fiskal dan moneter. Dalam berbagai kesempatan Darmin malah ditengarai terlibat dalam beberapa kasus besar seperti kasus pengemplangan pajak Paulus Tumewu (menjabat sebagai dirjen pajak) dan kasus Century (ikut dalam rapat KSSK). Karena kepiawaiannya sebagai birokrat senior ini jugalah yang menyebabkan dirinya mampu menggaet sokongan Jusuf Kalla untuk memimpin Tim Ekonomi Jokowi ke depan. Secara umum Darmin adalah tipikal ekonom konservatif yang anti perubahan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.subandibandi.blogspot.com/catatan-merah-tr...

KONFRONTASI- Sejarah berulang. Dalam catatan politik kejatuhan Bung Karno dan kemudian naiknya Suharto, terdapat jejak para ekonom yang dikenal sebagai penganut mazhab Berkeley Mafia. Mereka, yang juga dijuluki the economist with guns, tak lain adalah sekumpulan intelektual yang bermazhab neoklasik yang dimotori oleh Widjoyo Nistisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dll. Para pelanjut dari geng ekonom sayap kanan ala Mafia Berkeley  ini di generasi berikutnya ada Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, dan yang termuda Chatib Basri. Berkeley Mafia sudah berkuasa lebih dari 46 tahun dengan memegang kementerian ekonomi di masa Suharto, Megawati, dan Yudhoyono (Gus Dur terkecualikan karena Berkeley Mafia tidak masuk dalam kabinet, meskipun terus merongrong). Kini di masa Jokowi, tersiar kabar bahwa geng ini hendak masuk lagi ke dalam kabinet dengan dibantu lobby berbagai pihak.

Bila akhirnya tiga nama tersebut masuk kabinet Jokowi, maka perekonomian Indonesia akan mengabdi kepada kepentingan lembaga-lembaga keuangan Barat, yang menurut Jokowi dalam salah satu pidatonya: “telah menyebabkan ketidak adilan global”. Ketidak adilan global juga berarti ketidak adilan nasional. Hal ini ditunjukkan bagaimana semasa Yudhoyono, saat Boediono, Darmin Nasution, Sri Mulyani, dan Chatib  Basri menjadi pimpinan otoritas moneter dan fiskal telah menyebabkan semakin timpangnya pendapatan di kalangan masyarakat Indonesia (ditunjukkan dari Indeks Gini yang meningkat dari 0,33 (di tahun 2004) ke 0,43 (di tahun 2014).

Berjalannya Trisakti Bung Karno dan Nawacita Jokowi akan goyah bila “Trio Masalah” (Sri Mulyani, Darmin Nasution, dan Chatib Basri) akhirnya masuk Kabinet Kerja, karena selain masalah ideologi ekonomi terdapat juga masalah kinerja dan integritas dalam perjalanan karir ketiganya. SRI MULYANI Yang paling gemilang dari Trio ini, tentu adalah Sri Mulyani yang saat ini merupakan pejabat Bank Dunia. Kedekatannya dengan Bank Dunia dan lembaga-lembaga keuangan Barat kabarnya sudah terjadi sejak lama. Menurut kesaksian Kwik Kian Gie (di kwikkiangie.com) mantan menko perekonomian era Gus Dur, sudah sejak sebelum menjabat menteri Sri Mulyani kerap membocorkan hasil rapat Tim Ekonomi kepada IMF, Bank Dunia, dan Kedutaan AS. Karir Sri Mulyani di dalam kabinet Yudhoyono (sejak 2005) usai pada Juni 2010, diboyong ke Bank Dunia, setelah calon presiden versi Partai SRI ini memulai konflik terbuka dengan oligarkis Aburizal Bakrie sejak 2009, ketika ia berkoar-koar di publik terkait dugaan manipulasi pajak sebesar Rp2,1 triliun tahun 2007-2008 yang dilakukan tiga perusahaan grup Bakrie (belakangan Mahkamah Agung memenangkan Bakrie atas kasus ini dan Dirjen Pajak saat itu Tjiptardjo menyatakan bahwa pihak Bakrie telah mulai melunasi sebagian tunggakan pajaknya).

Bersamaan juga pada tahun 2010 tersebut Sri Mulyani menjalani status terselidik dalam Pansus Angket DPR tentang Skandal Century, yang dirinya selaku Kepala LPS adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam keluarnya dana talangan (bail out) Rp 6,7 triliun untuk bank kecil yang bermasalah sejak lama seperti Bank Century. Dalam Pansus ini terungkap suatu karakter dalam diri Sri Mulyani yang kerap menyalahkan orang lain atas kebijakan yang ditandatanganinya. Dalam hal Skandal Century, meskipun tanggung jawab utama ada pada dirinya, namun ia berusaha menyeret Boediono. Karakter yang terulang kembali belum lama dalam kasus TPPI yang ditangani Bareskrim Polri, yang mana Sri Mulyani berusaha menyeret Jusuf Kalla..

Kasus lain yang diduga menyeret Sri Mulyani adalah kasus penggelapan pajak sebesar Rp 400 miliar oleh Grup Ramayana milik Paulus Tumewu, di mana pada tahun 2005 dirinya selalu menteri keuangan memberikan rekomendasi pada Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan kasus ini demi “kepentingan umum”. Sri Mulyani juga kerap menyenangkan para investor di pasar keuangan dunia dengan meluncurkan yield obligasi yang kelewat tinggi. Misalnya pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond dengan yield yang diberikan sebesar 6,95%, lebih tinggi dari Malaysia 3,86%, Thailand 4,8%, dan bahkan dari Filipina (yang dijuluki The Sick Man in Asia) sebesar 6,5%. Padahal logikanya mestinya yield Indonesia maksimal 5,5%, sedikit di atas Thailand tapi di bawah Filipina. “Kebodohan” ini diulang lagi pada 2009, saat itu Sri Mulyani kembali menerbitkan global bond dengan yield 11,75%, jauh di atas Filipina 8,75% dan hanya sedikit kalah dari negara yang kesehariannya diguncang teror bom seperti Pakistan sebesar 12,5%. “Kebodohan-kebodohan” dalam menetapkan yield ini juga lah yang menyebabkan Sri Mulyani diganjar berbagai penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik oleh majalah-majalah ekonomi terkemuka seperti Euromoney dan Emerging Markets saat sidang tahunan IMF dan Bank Dunia.

Ada kesaksian seorang ekonom senior yang pernah menjadi mentor SMI di FE-UI, bahwa SMI memang bagus dalam menulis dan berpidato/berbicara , tapi tidak bisa kerja” mengatasi masalah. Di kalangan perbankan juga rekam jejak SMI sebagai ekonom  textbook thinking, ekonom yang tak kreatif kerja” sudah menjadi buah bibir sejak lama. SMI memang doyan ngomong, bicara dan pencitraan,dekat dengan kalangan jurnalis internasional dan media domestik, namun dia punya kebiasaan buruk lebih percaya Neoliberalisme,  andalkan utang dan utang berbunga tinggi. SMI  yang textbook thinking itu miskin gagasan terobosan,  kinerjanya business as usual,  sangat neoliberal dan meremehkan ekonomi konstitusi cita-cita Soekarno-Hatta dan founding fathers..

Di dalam negeri sendiri, penerbitan obligasi Negara yang dilakukan Sri Mulyani di pasar domestik lewat SUN juga kelewat tinggi sehingga merugikan dalam perspektif tidak mendukung upaya penurunan suku bunga perbankan. Sebagai contoh, ketika bank-bank papan atas seperti Mandiri dan BCA menawarkan suku bunga berkisar 5,25%-6,5%, pemerintahan malah memberikan tawaran bunga tetap 9,5%. Selain itu program reformasi perpajakan yang selalu digadang-gadang sebagai keberhasilan Sri Mulyani, yang didanai APBN (dari sebesar Rp 3,3 triliun di 2004 menjadi 13,4 triliun di 2010) dan pinjaman Bank Dunia (sebesar Rp1,38 triliun selama 2010-2015) pun, ternyata juga menemui kegagalan. Hal ini diperkuat dari kritik berbagai ekonom di luar pemerintahan dan penggantinya Sri Mulyani sendiri selaku menteri keuangan, Agus Martowardoyo pada Oktober tahun 2010 yang menyatakan bahwa “kinerja dirjen pajak belum optimal“.

Semakin terbukti kemudian dari masih banyaknya para pengemplang pajak dan terus menurunnya penerimaan pajak sejak beberapa tahun belakangan. 

Tidak ada yang spesial dalam sosok Darmin Nasution. Dan Darmin  juga tipikal sarjana textbook thinking, miskin gagasan terobosan,  kinerjanya business as usual,  sangat neoliberal dan meremehkan ekonomi konstitusi cita-cita Soekarno-Hatta dan founding fathers..Banyak yang meniliai dirinya sebagai birokrat tua yang ngeyel, selain minim prestasi dalam terobosan kebijakan semasa dirinya memimpin otoritas fiskal dan moneter. Dalam berbagai kesempatan Darmin malah ditengarai terlibat dalam beberapa kasus besar seperti kasus pengemplangan pajak Paulus Tumewu (menjabat sebagai dirjen pajak) dan kasus Century (ikut dalam rapat KSSK). Karena kepiawaiannya sebagai birokrat senior ini jugalah yang menyebabkan dirinya mampu menggaet sokongan Jusuf Kalla untuk memimpin Tim Ekonomi Jokowi ke depan. Secara umum Darmin adalah tipikal ekonom konservatif yang anti perubahan dan textbook thinking.

Kini tentang utang luar negeri. SMI seringkali mengeluh bahwa sistem APBN Indonesia tidak sehat karena sudah sampai tahap berutang untuk bayar bunga utang”. Dikatakan oleh SMI, telah terjadi defisit dalam keseimbangan primer, yang berarti kita meminjam untuk keperluan men-service utang masa lalu. Namun, bukankah tingginya utang masa lalu kita adalah juga kesalahan SMI juga, yang pernah menjabat Menteri Keuangan sejak 2006 hingga 2010? Berdasarkan data dari Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (2011), total penerbitan Surat Berharga Negara/SBN (bruto) sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 adalah sebesar Rp 473,3 triliun.

Dengan bunga SBN yang termasuk tinggi di era SMI menjabat Menkeu 2006-2011, seharusnya dari total utang luar negeri dalam bentuk SBN di akhir 2016 yang mencapai Rp 2.700,82 triliun, sumbangan SMI mungkin mencapai 40%-nya. Tentang bunga SBN yang tinggi ini pun SMI memiliki cerita. Karena kemurahan” hatinya pada investor, SMI pun diganjar berbagai penghargaan internasional dan tak pernah absen masuk ke dalam tokoh yang berpengaruh di dunia. Contohnya, menurut catatan Direktur CEDeS Edy Mulyadi, pada 2008 SMI menerbitkan global bond dengan bunga sebesar 6,95%, menjadi yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Padahal saat itu Malaysia hanya memasang bunga 3,86%, Thailand 4,8%, bahkan Filipina (yang saat itu dikatakan sebagai The Sick Man of Asia) memasang bunga sebesar 6,5%.

Kemudian, pada 2009 SMI kembali menerbitkan global bond dengan bunga super tinggi, mencapai 11,75%. Padahal saat itu Filipina hanya pasang bunga 8,5%. Bunga Indonesia saat itu hanya kalah sedikit dari Pakistan, negara yang setiap hari diguncang bom, yang memasang 12,5%. Kesimpulannya, SMI sebenarnya adalah bagian dari masalah negeri ini. Dirinya tidak pernah menjadi bagian dari solusi, apalagi terobosan. Satu-satunya harapan adalah kabar bahwa SMI sangat dekat dengan pemerintahan Amerika Serikat, tapi ini pun menjadi pupus setelah kemenangan Trump (karena kabarnya SMI dekatnya dengan geng Clinton). Jadi praktis keberadaan SMI di kabinet Indonesia saat ini sudah tidak ada nilainya lagi, alias zero value. Inilah dampak SMI dan Darmin, salah satu faktor krusial gagalnya Nawacita dan Trisakti Presiden Jokowi. *** (jred/fg/kf)

Category: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533