Quantcast
Channel: PT Pelabuhan Indonesia Pelindo
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Ambang Batas (PT) Pencalonan Capres Suburkan Oligarki dan Politik Pemerasan

$
0
0

KONFRONTASI- Ambang batas pengajuan calon presiden oleh partai politik, atau presidential threshold, membuat praktek politik  pemerasan, dan transaksional  terus berlanjut. "Pembatasan presidential threshold hanya membuat  parpol jadi pemeras para pengusaha  dan membuat kader-kader bangsa terbaik semakin sulit mendapat kesempatan dipilih sebagai capres di masa depan," kata Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, dalam keterangan beberapa saat lalu (Rabu, 10/7).  Parpol-parpol memeras pengusaha dan konglomerat dengan ambangbatas yang mereka tentukan. Maka harusnya ambang batas itu nol atau maksimal satu persen.

Lebih dari itu, ungkap Fadli, pembatasan ini juga merupakan cermin oligarki partai secara sistemik yang melukai penghormatan terhadap hak setiap warga negara. Pada akhirnya, oligarki partai inilah yang memangkas hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

Fadli pun memastikan bahwa Gerindra sama sekali tidak khawatir meskipun PT tetap 20 persen. Namun perlu dicatat pembatasan ini bertentangan dengan semangat Konstitusi. Ambang batas 20 persen yang ada dalam UU pilpres saat ini pun tak ada dasarnya kecuali argumentasi sumir soal sistem presidensial. Fadli menggarisbawahi bahwa dalam UUD 1945 pasal 6 tak diamanatkan penetapan threshold. Konstitusi hanya menyebutkan bahwa presiden dan wapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Sehingga, penetapan angka treshold untuk pencalonan presiden, jelas melanggar konstitusi dan mencederai prinsip civil rights dalam sistem demokrasiKoordinator Nasional Jaringan Pemilih untuk Pemilu Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafiz menuturkan pada pasal 393 di dalam RUU Pemilu yang menyebutkan adanya ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar 3,5 persen dari jumlah suara sah peserta pemilu untuk masuk ke dalam DPR atau sama dengan jumlah yang sama seperti pada Pemilu 2014 dijamin tidak akan mampu menyederhanakan atau mengurangi jumlah parpol.

”Besaran parliamentary threshold tidak memiliki dampak yang cukup siginifikan terhadap penyederhanaan sistem kepartaian. Hal ini terbukti pada Pemilu 2009 ke Pemilu 2014 dengan PT 2.5 persen menjadi 3.5 persen dengan jumlah partai politik yang justru meningkat,” ucapnya dalam keterangan tertulisnya.

Menurutnya, dengan mengedepankan aspek proporsionalitas yang tinggi, rendahnya suara rakyat yang terbuang dan pembatasan terhadap kepesertaan Pemilu berikutnya akan terjadi, maka Masykurudin pun mengusulkan parliamentary threshold dapat diturunkan menjadi 1 persen, berlaku dari nasional sampai daerah.

”Partai politik peserta pemilu anggota DPR memenu h i ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 1 persen dari jumlah suara pemilu anggota DPR untuk memperoleh kursi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota,” ucapnya.

Untuk penyederhanaan parpol di DPR, maka Masykurudin pun mengusulkan mempersempit jumlah daerah pemilihan (Dapil) serta kuota kursi per dapilnya.

”Untuk menyederhanakan jumlah kursi parpol untuk duduk di DPR bisa dikurangi jumlah dapil dari 78 menjadi 38. Serta alokasi kursi dari 3-10 per dapil menjadi 3-6 kursi,” paparnya. Selain itu, dirinya juga mengaku setuju dengan pengetatan jumlah fraksi.

”Hak seseorang yang sudah meraih suara besar jangan dihilangkan cuma karena suara partainya kecil. Tetapi biarkan dia masuk ke parlemen namun bergabung ke fraksi partai lain,” ujar Masykurudin.

. [ysa]

Category: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Trending Articles