Quantcast
Channel: PT Pelabuhan Indonesia Pelindo
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Hariman Siregar: Pemimpin Populis yang Sekedar Pencitraan Sudah Tak Dipercaya

$
0
0

KONFRONTASI- Mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI yang juga Direktur Indonesia Democracy Monitor (Indemo) yang juga aktivis Malari, Hariman Siregar, menyebutkan, sejak reformasi tahun 1999 Indonesia telah mengalami empat kali pemilihan presiden yang berjalan aman. Menurutnya, pengalaman demokrasi tersebut seharusnya bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang matang. Namun, kondisi kaburnya kepercayaan terhadap suatu rezim justru membuat masyarakat berpikir tidak rasional dan mengenyampingkan demokrasi.

Ada gejala penolakan terhadap pemimpin yang tak dikehendaki, padahal figur tersebut sudah terpilih. Khawatirnya, hal serupa bisa berlangsung dalam masyarakat. “Kita lihat dalam masyarakat, kalau di politik kita buka demokrasi, di ekonomi kita buka pasar bebas, sosial kita bicara civil society, di hukum kita bicara kepastian hukum. Kalau kita bicara empat hal ini sangat jauh dari cita-cita awal,” ujar Hariman dalam peringatan 43 Tahun Peristiwa Malari 1974 sekaligus diskusi bertajuk “Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme” di Hall Mawar Conference, Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2017).

Dijelaskannya, seperti dengan adanya Brexit dan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS. Namun tidak dipercaya menang. Jadi ini tidak bisa dianggap main-main. “Kondisi ini terjadi saat ini di Indonesia, bahwa populisme yang merupakan pencitraan namun tidak dipercaya, ini peringatan. Bisa, asal dalam empat tahun elite bisa kembalikan kepercayaan dan rakyat bisa jadi rasional. Tapi kalau sebaliknya, fasis justru menghambat proses guaranted globalisasi,” katanya.

Dalam peringatan Malari 43 tahun kali ini, ratusan aktivis hadir seperti dari aktivis Pro Demokrasi (Prodem) dan sejumlah politisi diantaranya: Bursah Zarnubi, Egi Sudjana, M Misbakhun dan Benny K Harman. Hadir juga aktivis tertuduh makar, Hatta Taliwang. Pada kesempatan tersebut, diskusi generasi langsung dimulai begitu orasi politik dan monolog tersebut selesai. Pembicaranya antara lain Soeripto JS dari Soeripto Centre, DR. B. Herry Priyono dari STF Driyarkara, Yudi Latif dari Reform Institute dan Faisal Basri sebagai pengamat Ekonomi UI. Soecipto pada diskusi menyajikan tema “Arah Perubahan Dunia: Nasionalis Populis dari Sudut Pandang GeoPolitik dan GeoStrategi”. Herry Priyono membahas “Arah Perubahan Ekonomi Dunia Tren Nasionalis Populis: Pasca-Brexit dan Kemenangan Trump”. Yudi Latif membahas masalah “Ketahanan Budaya dan Ideologi Indonesia”. Sedangkan Faisal Basri menyajikan bahasan mengenai “Trend Nasionalis Populis dan Implikasi Terhadap Ekonomi Indonesia”.

Direktur Indonesia Democracy Monitor (Indemo) yang juga aktivis Malari, Hariman Siregar, menyebutkan, sejak reformasi tahun 1999 Indonesia telah mengalami empat kali pemilihan presiden yang berjalan aman. Menurutnya, pengalaman demokrasi tersebut seharusnya bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang matang. Namun, kondisi kaburnya kepercayaan terhadap suatu rezim justru membuat masyarakat berpikir tidak rasional dan mengenyampingkan demokrasi. Ada gejala penolakan terhadap pemimpin yang tak dikehendaki, padahal figur tersebut sudah terpilih. Khawatirnya, hal serupa bisa berlangsung dalam masyarakat. “Kita lihat dalam masyarakat, kalau di politik kita buka demokrasi, di ekonomi kita buka pasar bebas, sosial kita bicara civil society, di hukum kita bicara kepastian hukum. Kalau kita bicara empat hal ini sangat jauh dari cita-cita awal,” ujar Hariman dalam peringatan 43 Tahun Peristiwa Malari 1974 sekaligus diskusi bertajuk “Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme” di Hall Mawar Conference, Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2017). Dijelaskannya, seperti dengan adanya Brexit dan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS. Namun tidak dipercaya menang. Jadi ini tidak bisa dianggap main-main. “Kondisi ini terjadi saat ini di Indonesia, bahwa populisme yang merupakan pencitraan namun tidak dipercaya, ini peringatan. Bisa, asal dalam empat tahun elite bisa kembalikan kepercayaan dan rakyat bisa jadi rasional. Tapi kalau sebaliknya, fasis justru menghambat proses guaranted globalisasi,” katanya. Dalam peringatan Malari 43 tahun kali ini, ratusan aktivis hadir seperti dari aktivis Pro Demokrasi (Prodem) dan sejumlah politisi diantaranya: Bursah Zarnubi, Egi Sudjana, M Misbakhun dan Benny K Harman. Hadir juga aktivis tertuduh makar, Hatta Taliwang. Pada kesempatan tersebut, diskusi generasi langsung dimulai begitu orasi politik dan monolog tersebut selesai. Pembicaranya antara lain Soeripto JS dari Soeripto Centre, DR. B. Herry Priyono dari STF Driyarkara, Yudi Latif dari Reform Institute dan Faisal Basri sebagai pengamat Ekonomi UI. Soecipto pada diskusi menyajikan tema “Arah Perubahan Dunia: Nasionalis Populis dari Sudut Pandang GeoPolitik dan GeoStrategi”. Herry Priyono membahas “Arah Perubahan Ekonomi Dunia Tren Nasionalis Populis: Pasca-Brexit dan Kemenangan Trump”. Yudi Latif membahas masalah “Ketahanan Budaya dan Ideologi Indonesia”. Sedangkan Faisal Basri menyajikan bahasan mengenai “Trend Nasionalis Populis dan Implikasi Terhadap Ekonomi Indonesia”.

Sumber: http://nasional.kini.co.id/2017/01/15/19930/peringati-43-tahun-peristiwa-malari-hariman-perubahan-dan-populis
Follow Twitter @KiniOnline dan FB http://fb.com/KiniOnline

Category: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Trending Articles