NEW YORK-Ima Matul Maisaroh, perempuan asal Malang, Jawa Timur, menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat Presiden Barack Obama pada permasalahan perdagangan manusia. Jauh sebelum ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat itu, Ima menjalani kisah sedih yang traumatis saat menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Negeri Paman Sam tersebut.
Kisah sedih itu Ima ceritakan saat menghadiri seminar bertema "Perjuangan Perempuan Melawan Perdagangan Manusia" di Denpasar, Bali pada Sabtu (29/10/2016) kemarin.
"Kasus saya bukan karena saya miskin. Saya awalnya merasa malu dalam keluarga, dalam komunitas saya. Saya dipaksa kawin saat masih umur 16 tahun. Saya nekat untuk mendaftar bekerja ke Hongkong," kata Ima Matul Maisaroh.
Ima mengaku, saat itu dia tidak punya pengalaman kerja. Karena itu, ia harus mengikuti pelatihan di sebuah tempat penampungan calon TKW.
Saat menjalani pelatihan di sebuah keluarga di Malang tersebut, ia ditawarkan untuk pergi ke Amerika Serikat (AS) guna mengikuti saudara si pemberi pelatihan. Itu terjadi pada 1997.
"Keluarga yang di Malang itu kan punya keluarga di Amerika Serikat. Pada saat itu dia membutuhkan asisten rumah tangga atau nanny karena mau melahirkan. Jadi saya ditawarin, ya mau sajalah. Siapa yang tidak mau ke Amerika meskipun saya nggak pernah ke sana?" ujar Ima.
Ima sempat dijelaskan pilihan negara yang akan dituju, yaitu Amerika atau Hongkong.
Ia berpikir, jika kerja di Amerika, yang ditawarkan keluarga di Malang tersebut, ia akan bekerja dengan orang Indonesia. Jadi, ia tidak harus belajar bahasa Inggris terlebih dulu. Biaya semua ditanggung.
Namun jika ke Hongkong, ia minimal harus mengerti bahasa mandarin serta gaji akan dipotong untuk agen.
Akhirnya, Ima menyetujui tawaran ke Amerika.
"Saya dijanjiin, gaji saya 150 dollar AS per bulan. (Jumlah) itu (pada) jaman saya dulu banyak sekali. Akhirnya semua diurusin, tiket, visa, paspor, dan semuanya. Setelah saya tiba di Amerika, saya dijemput keluarga tersebut, paspor saya diambil, saya dibawa ke rumahnya, latihan kerja cara-cara di Amerika," kata dia.
Seminggu kemudian, Ima ternyata diserahkan ke keluarga lain. Itulah yang kemudian dinilai sebagai transaksi perdagangan manusia. Ima tidak menyadari bahwa saat itu dirinya sudah dijual ke pembeli yang membutuhkan tenaga kerja.
"Pertama-pertamanya sih biasa-biasa saja sebagai asisten rumah tangga. Tapi lama kemudian pekerjaan mulai banyak. Saya bekerja dari pagi sampai malam, gaji juga nggak dikasih, majikan sering ngomelin, sering dipukulin, sampai parah sekali," kenangnya.
Ima bekerja dalam situasi tersebut selama tiga tahun. Kalau di negara lain seperti Hongkong atau Singapura, asisten rumah tangga mendapat satu hari libur per minggu, tetapi Ima mengaku ia tidak pernah mendapatkan hal tersebut. Ia pun sulit untuk melarikan diri.
a mengaku tak memilii kebebasan sedikit pun.
"Saya bertahan selama tiga tahun. Kalau mau lari, mau lari kemana? Ini negara asing, uang juga nggak punya. Jadi saya terpaksa tinggal bersama keluarga itu meskipun saya diperlakukan jahat sekali," tegasnya.
"Akhirnya saya tidak kuat diperlakukan seperti itu. Akhirnya saya menulis surat ke tetangga sebelah untuk minta pertolongan untuk kabur. Saat itu (kemahiran) bahasa Inggris saya tidak banyak. Saya hanya nulis tolong bantu saya. Itu saja."
Ima bersyukur, karena tetangganya akhirnya menolong dia. Tetangga itu menolong Ima dengan tepat. Ia diserahkan ke sebuah yayasan di Los Angeles yang mengurusi kasus-kasus seperti yang dialami Ima.
Ima langsung mendapat pertolongan dengan diberi fasilitas tempat, makan, dan fasilitas lainnya sehingga dia bangkit kembali.
Tahun 2012 Ima ditunjuk Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, sebagai pahlawan dalam gerakan penghapusan perdagangan manusia dan perbudakan modern di Amerika Serikat dan di luar negeri pada saat acara Clinton Global Inisiative.
Tahun 2015, Ima ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat Presiden Barack Obama pada permasalahan perdagangan manusia. Pada 2016, Ima diundang sebagai pembicara dalam acara dengan Hillary Clinton di konvensi Nasional Demokrat tentang isu perdagangan manusia.
Seorang Srikandi Indonesia akan tampil di panggung politik Amerika Serikat. Dia adalah Ima Matul Maisaroh. Perempuan asal Desa Gondanglegi, Malang, Jawa Timur ini akan berpidato di depan puluhan ribu delegasi dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat yang digelar di Philadelphia, Pennsylvania, AS.
Bersama belasan senator dan pembicara bergengsi lainnya, Ima tampil di panggung utama Stadion Wells Fargo, pada hari Selasa 26 Juli 2016. ‘’Surat undangan resmi yang dikirim Komite Nasional Partai Demokrat baru saja saya terima Sabtu sore,’’ kata Ima dengan nada gembira. Di ajang itulah, Partai Demokrat AS secara resmi akan memilih Hillary Rodham Clinton sebagai kandidat utama dan Senator Tim Kaine sebagai wakil presiden, dalam Pemilihan Presiden AS November 2016 nanti.
‘’Selain menyampaikan pidato mengenai pengalaman saya sebagai korban perbudakan manusia, saya juga menyampaikan program-program penanggulangan perbudakan dan perdagangan manusia yang telah dilakukan Hillary Clinton,’’ tutur Ima Matul. Perempuan bertubuh mungil itu diundang tampil di ajang politik AS, karena sejumlah jabatannya yang tak main-main.
Ima, yang sejak kecil bersekolah di Madrasah Tsyanawiyah di Gondanglegi, Malang itu, menjadi salah satu anggota Dewan Penasehat Perdagangan Manusia Presiden Barrack Obama. ‘’Maaf saya baru saja selesai menghadiri pertemuan rutin di Gedung Putih,’’ tutur Ima yang diangkat menjadi anggota Dewan Penasehat Gedung Putih bersama 10 anggota lainnya, Desember 2015 lalu.
Perempuan berusia 33 tahun, jebolan kelas 1 SMA Kh0irudin, Gondanglegi ini, diminta memberi saran dan masukan ke Presiden Obama untuk memberantas perdagangan manusia. Tercatat 40 ribu sampai 45 ribu menjadi korban perdagangan manusia di AS. Bersama tiga anggota lainnya, Ima Matul dipercaya menangani dua dari lima masalah utama. ‘’Yakni, soal pendanaan dan sosialisasi para korban perdagangan manusia,’’ tutur Ima. Kepercayaan itu diberikan ke pundak Ima, yang sejak tahun 2012 menjadi staf CAST, Coalition to Abolish Slavery & Trafficking. Ima menjabat sebagai organisator atau koordinator para korban Perbudakan dan Perdagangan Manusia CAST. Organisasi nirlaba ini yang menolongnya setelah melarikan diri dari siksaan bekas majikannya di Los Angeles.
Kisahnya dimulai tahun 1997, ketika Ima yang baru berusia 17 tahun, menerima tawaran bekerja sebagai pramuwisma seorang pengusaha interior disainer asal Indonesia yang bermukim di Los Angeles. ‘’Sejak sampai di Bandara LAX, paspor saya sudah ditahan oleh majikan saya,’’ tutur Ima yang enggan menyebut nama bekas majikannya itu.
Selama tiga tahun, Ima Matul harus bekerja lebih dari 12 jam. Hampir setiap hari, Ima menjalani siksaan dan pukulan dari majikannya, seorang warga keturunan yang menjadi interior designer. Untuk kesalahan kecil yang dibuatnya, Ima harus menerima pukulan dan tamparan berkali-kali. ‘’Sampai sekarang, bekas luka di kepala masih bisa dilihat,’’ ujar Ima seraya menekankan, waktu itu ia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali.
Setelah tiga tahun, Ima tidak tahan lagi. Pada tahun 2000, perempuan desa ini nekat menyisipkan sebuah notes kecil berisi ‘Permintaan Tolong’ kepada seorang penjaga bayi tetangganya. Tetangga inilah yang menolong Ima melarikan diri dari rumah majikannya dan mengantarkannya ke kantor CAST. ‘’Waktu itu saya tidak bawa paspor,’’ kata Ima melanjutkan. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah penampungan kaum gelandangan, Ima pun akhirnya bisa tinggal di rumah layak dan bekerja di CAST.
Agar paspornya dikembalikan, Ima berpura-pura pulang ke Indonesia. Ditemani seorang agen FBI, Ima bertemu dengan majikannya di Bandara LAX. ‘’Saya juga dipasangi alat penyadap untuk merekam seluruh pembicaraan,’’ tutur Ima dengan bahasa Inggris yang rapi. Singkat cerita, majikannya memberinya tiket pesawat sekali jalan ke tanah air dan berjanji hendak mengirim uang gajinya, setelah Ima tiba di Malang, Jawa Timur.
Gaji itu tidak dibayarkan majikannya karena Ima tidak pulang ke Malang. ‘’Saya hanya masuk ke ruang dalam Bandara dan keluar lagi,’’ kata Ima yang akhirnya tidak mau menuntut majikannya yang berlaku kasar itu. Menurutnya, pihak FBI tidak bisa melakukan penahanan majikannya, karena tidak ada tuntutan dari Ima.
‘’Prosesnya cukup berbelit dan membutuhkan saksi mata yang jelas. Dan aksi kekerasan itu terjadi di dalam rumah tanpa diketahui banyak orang,’’ kata Ima menuturkan. ‘’Lagipula bekas-bekas luka saya dianggap kurang menunjukkan luka serius, meski terdapat bekas luka di kepala,’’ sambungnya, seraya enggan menyebut nama bekas majikannya itu. Kasus itu memang berhenti sampai di situ. Dan sebagai warga AS, bekas majikannya masih tinggal di Los Angeles.
Meski begitu, Ima Matul tetap tegar. Malah, sebaliknya, karirnya sebagai aktivis makin menanjak dan berhasil diundang ke berbagai pertemuan tingkat tinggi di Washington DC. Bagi Ima, bertemu dengan para pejabat tinggi seperti Menteri Luar Negeri John Kerry, bahkan dengan Presiden Barrack Obama, sudah pernah dilakukannya.
Namun ada satu orang yang ingin ditemuinya. Yakni, Hillary Rodham Clinton yang kini menjadi kandidat presiden dari Partai Demokrat. ‘’Saya belum pernah bertemu dengan Hillary Clinton,’’ ujar Ima Mastul. Srikandi dari Jawa Timur ini berharap bisa bertemu dengan Hillary Clinton di acara Nasional Partai Demokrat di Philadelphia.
’’Dia satu-satunya pejabat tinggi AS yang punya program membantu para korban perbudakan dan perdagangan manusia, dengan menyumbang dana lewat Clinton Foundation,’’ kata Ima, ibu 3 anak, bersuamikan orang Sunda itu. ‘’Saya hanya dua hari di Philadelphia, karena tidak ada yang nungguin anak-anak. Suami saya sedang pulang ke tanah air karena menunggu orang tuanya yang sedang sakit,’’ tutur Ima Matul Maisaroh menutup pembicaraan. DP