
KONFRONTASI- Keberanian, keterbukaan dan komitman reformasi Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Tito Karnavian diapresiasi oleh para aktivis berbagai generasi. Dialog Kapolri-aktivis haruslah dilembagakan guna mencari formula solusi atas berbagai persoalan bangsa yang pasti tidak bisa diatasi sendiri oleh penguasa.. Polisi untuk rakyat merupakan visi-misi Kapolri yang menuntut kesungguhan Polri untuk berubah menjadi pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat secara nyata untuk membangun kepercayaan publik.
Demikian pandangan Tokoh dan Aktivis Malari Hariman Siregar yang mengapresiasi aksi turun gunung Kapolri untuk berdialog terbuka dengan para aktivis lintas generasi yang dikenal memiliki pandangan kritis terhadap kekuasaan.
"Kami memberikan apresiasi atas kesediaan Kapolri untuk berdialog terbuka dengan para aktivis Senin kemarin di Restro Pempekita Jakarta," ungkap Hariman, Selasa (25/10/2016).
Menurut Hariman, dialog tersebut haruslah dilembagakan guna mencari formula solusi atas berbagai persoalan bangsa yang pasti tidak bisa diatasi sendiri oleh penguasa.
"Civil society adalah pilar penting di negara demokrasi. Selain pilar lainnya adalah rule of law, pers yang bebas, dan parpol yang benar," ujarnya.
Pasalnya, dalam pertemuan itu Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyambut baik berbagai masukan dan kritikan yang telah disampaikan para aktivis. Khususnya perihal dugaan kasus penistaan oleh calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tito meminta agar masyarakat bersikap untuk jernih. Disatu sisi, masyarakat sudah mempunyai persepsi bahwa Ahok melakukan penistaan agama ditambah lagi dengan pernyataan MUI.
"Polri memiliki protap dan rezim hukum yang harus diikuti dalam memproses suatu kasus yakni mendengarkan pendapat dari saksi ahli mencakup tiga bidang; agama, bahasa, dan hukum pidana," terang Tito.
Selain itu, Tito mengaku pihaknya berada dalam posisi dilematis terkait kasus penistaan tersebut. Kata dia, jika tidak diproses, publik memandang Polisi dianggap tidak fair. Sebaliknya jika Ahok ditangkap tanpa memenuhi standar prosedur yang ada maka polisi bisa dituduh oleh pihak lain telah melakukan politisasi dan mengganjal Ahok dalam proses Pilgub DKI.
"Tapi saya menyambut baik kesediaan aktivis untuk berdialog secara terbuka serta mengingatkan agar semua pihak mencegah terjadinya konflik horisontal. Jika terjadi demikian, Indonesia akan mundur ke belakang, ekonomi akan terpuruk, investor lari," tandasnya.
Kasus Ahok
Selain hal-hal tersebut, sejumlah aktivis juga mempersoalkan indepedensi institusi kepolisian dalam menegakkan hukum. Andrianto misalnya, mempertanyakan lambannya proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), padahal yang bersangkutan sudah dinilai melakukan penistaan agama oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Aksi unjuk rasa agar Ahok ditangkap bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi sudah meluas ke berbagai kota. Isu ini juga sudah menjadi sorotan dunia. Andrianto berharap agar polisi tidak tebang pilih dalam penegakan hukum, karena inilah yang akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap polisi semakin merosot. Ia juga meminta Polri bersikap netral dalam menghadapi Pilkada, baik di DKI Jakarta maupun di daerah lain. Pendapat Andrianto didukung oleh beberapa pembicara lainnya, antara lain Abdul Malik.
Syahganda Nainggolan memaparkan sejumlah fenomena yang menunjukkan terjadinya perubahan perspektif dan pola perilaku di masyarakat. Apa yang dulu termasuk milik publik seperti pantai kini dalam kasus Ancol, pulau Reklamasi, dan pantai-pantai di sejumlah daerah telah menjadi barang privat. Kemenangan sistem demokrasi liberal dalam tatanan politik dunia, seperti yang diintrodusir antara lain oleh Fukuyama, juga menimbulkan perubahan cara pandang dan perilaku di masyarakat yang bisa berimbas pada terjadinya benturan peradaban.
Kasus Ahok, menurut Syahganda, adalah contoh dari perilaku yang menabrak nilai-nilai luhur yang selama ini dianut bangsa Indonesia. “Ahok sudah menabrak nilai-nilai kesantunan, toleransi, harmoni, prinsip persatuan, serta keadilan sosial yang menjadi inti dari Pancasila,” ujarnya.
Dalam menghadapi berbagai gejolak perubahan pesat di dunia yang dalam waktu singkat pasti juga berimbas kepada pandangan dan prilaku masyarakat Indonesia, kata Syahganda, diperlukan dialog intensif antara pemangku pemerintahan dan civil society. Tidak boleh ada kesombongan struktural bahwa berbagai masalah yang muncul di tengah masyarakat akan dapat diatasi oleh pemerintah saja.
Tito menyambut baik berbagai kritik dan masukan yang disampaikan para aktivis. Khusus tentang kasus Ahok, ia meminta masyarakat bersikap jernih. Di satu sisi, masyarakat sudah punya persepsi bahwa Ahok melakukan penistaan agama. Apalagi ada pernyataan dari MUI yang menyatakan seperti itu.
Kapolri menyatakan bahwa institusinya menghargai sikap MUI dan sejumlah ulama yang menyatakan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Masalahnya, kata Tito, Polri punya protap dan rezim hukum yang harus diikuti dalam memproses suatu kasus, yakni mendengarkan pendapat dari saksi ahli yang mencakup tiga bidang: agama, bahasa, dan hukum pidana. “Polri tidak bisa mengambil kesimpulan sebelum proses ini dilalui,” kata Tito.
Dalam kasus Ahok, Tito menyatakan, polisi berada dalam posisi dilematis. Kalau tidak diproses polisi dianggap tidak fair. Sebaliknya kalau Ahok ditangkap tanpa memenuhi standar prosedur yang ada, polisi bisa dituduh oleh pihak lain telah melakukan politisasi dan mengganjal Ahok dalam proses Pilgub DKI.
Menurut Tito, Senin siang Ahok sudah datang ke Bareskrim atas kesadaran sendiri untuk menyampaikan klarifikasi terkait kasusnya. “Percayakan ke polisidan silahkan awasi perkembangannya. Kalau ada proses hukum yang salah, lawan dengan cara hukum. Bukan dengan mengerahkan massa,” kata Tito.
Tito menyambut baik kesediaan aktivis untuk berdialog secara terbuka. Sebelum menutup dialog, ia mengingatkan agar semua pihak mencegah terjadinya konflik horisontal. Jika terjadi konflik horisontal, katanya, Indonesia set-back, ekonomi akan terpuruk, investor lari, terjadi capital flight, dan yang bertepuk tangan adalah negara tetangga.