
KONFRONTASI- Siapa yang bakal jadi lawan Ahok dalam pilgub DKI? Sebaiknya koalisi parpol yang menantang Ahok bersikap cermat, profesional dan obyektif agar tak sekedar ajukan cagub melawan Ahok.
Hari-hari ini, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melenggang dan menanti siapa lawan politiknya di laga Pilgub DKI nanti. Ahok mencari penantang, sebaliknya para penantangnya masih mencari koalisi parpol untuk menghadapi Ahok. Ironis dan paradoks bahwa kalangan oposisi harus menunggu keputusan politik PDIP untuk mencari sosok yang pantas dab berpeluang menang melawan Ahok.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Selasa malam (20/9) mengumumkan mengusung pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat sebagai cagub dan cawagub untuk Pemilukada DKI Jakarta 2017.
Sebelum resmi diusung PDIP, berbagai survey menyingkapkan hanya Risma dan Rizal Ramli yang popularitas maupun elektabilitasnya bisa mengalahkan Ahok dalam Pilgub DKI. Anies Baswedan dan Yusril Ihza serta Sandiaga Uno juga disebut-sebut lembaga survey, namun masih sayup-sayup.
Di atas kertas, Ahok paling diunggulkan berbagai lembagai survei. Tapi itu bukan kepastian bahwa dia lantas menang dan terpilih lagi di Pilgub DKI, sebab Ahok sudah jadi sosok yang sarat kontroversi dan pilgub DKi masih menyimpan misteri.
Kini Ahok resmi cagub PDIP, Risma tetap menjabat sebagai Walikota Surabaya, sementara Rizal Ramli belum diajukan oleh koalisi parpol oposisi atau yang berseberangan dengan kubu Ahok.
Jika tidak cermat dan tak hati-hati, maka koalisi kekeluargaan atau oposisi atau poros apapun namanya yang berniat melawan kekuatan Ahok, bisa terseok dan dipermalukan Ahok dalam Pilgub DKI nanti.
Ahok merasa paling digdaya dan berposisi di atas angin dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Meski elektabilitas merosot, Ahok masih paling bisa diandalkan oleh PDIP dan koalisinya. Elektabilitas Ahok menurun karena sikap, tabiat atau kebijakan Ahok sebagai orang nomor satu di DKI, tidak terlihat berpihak kepada masyarakat. Ahok mendukung kepentingan pemodal, pengembang, dan kelas yang mapan.
Masyarakat Jakarta sebagian memang sudah tidak suka dengan gaya kepemimpinan Ahok. Karena upaya penataan Ahok dalam membangun ibukota diwarnai penggusuran yang keras dan menyingkirkan dimensi kemanusiaan, padahal mustinya tetap manusiawi, santun dan baik.
Dengan dukungan PDIP dan koalisi Banteng, maka Ahok tetap percaya diri dan hampir pasti menjalankan kebijakannya seperti biasa, business as usual. Di sinilah peluang lawan politik Ahok dari sayap nasionalis maupun Islamis untuk bisa memanfaatkan kelemahan-kekurangan Ahok agar bisa mengalahkan petahanan itu dalam Pilgub DKI nanti. Isu penggusuran dan reklamasi bakal dominan, dan debat untuk dua isu itu bakal sengit.
Kini publik menanti siapa bakal jadi lawan Ahok? Kalau lawannya hanya cagub abal-abal, sudah pasti Ahok menang telak dan parpol pendukung si cagub abal-abal itu bakal terpental dan dipermalukan sebagai politisi kadal dari partai yang banal.
Oleh sebab itu, koalisi kekeluargaan dan poros apapun yang bakal menantang Ahok sebagai pesaing politik, harus menimbang secara obyektif, terukur dan profesional: siapa sosok yang pantas diusung untuk melawan Ahok? Jangan cagub abal-abal dan waton suloyo karena bakal dikandaskan Ahok secara tandas.
Yang jelas, jika Ahok menang, dalam Pilpres 2019 mendatang diprediksi duet Jokow-Ahok bakal melenggang. Namun kalau sampai Ahok bisa dikalahkan di Pilgub DKI, peta politik nasional bakal berubah atau setidaknya bergeser dan Partai Banteng harus mereformasi visi-misi dan strategi agar tidak bermandi onak-duri. (berbagai sumber)