Clik here to view.

JAKARTA-Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami nama-nama orang Indonesia yang disebut dalam dokumen "Panama Papers" disambut positif kalangan DPR.
"Saya sangat mendukung apabila KPK berperan aktif dalam hal ini," kata anggota Komisi III DPR RI, Ruhut Sitompul, kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4).
Menurut Ruhut, siapapun yang punya dana di luar negeri harus bisa mempertanggungjawabkan asal usul dananya. Pendalaman penting dilakukan, kata Ruhut, apalagi pemerintah sendiri menaksir ada potensi dana senilai Rp 3000 triliun yang diparkir di luar negeri.
Di dalam dokumen Panama Papers, terdapat 2.961 orang Indonesia yang berkaitan dengan sejumlah perusahaan offshore. Selain nama individu dan perusahaan seperti Lippo, Podomoro, dan Djarum, dokumen Panama Papers juga memuat alamat klien Mossack Fonseca.
Untuk individu, keluarga JK turut muncul dalam bocoran Panama Papers bersama sejumlah tokoh Indonesia lainnya. Mereka adalah Solihin Kalla (anak), Ahmad Kalla (adik), Aksa Mahmud (adik ipar) dan Erwin Aksa (keponakan).
The Panama Papers, tambah politisi Demokrat ini, harus menjadi perhatian semua semua pihak. Apalagi pemerintah sangat ingin dana-dana yang ada di luar negeri masuk kembali ke Indonesia. Apalagi, memang harus diakui penerimaan terbesar negara adalah dari sektor pajak.
"Ini penting sekali. Karena saya mendengar ada tiga kali lebih besar bahkan empat kali dari anggaran satu APBN," tandas politisi Partai Demokrat ini.
Pejabat negara dan wakil rakyat yang namanya maupun anggota keluarganya terungkap dalam "Panama Papers", seperti keluarga Wapres Jusf Kalla (JK), harus mundur dari jabatannya, seperti di beberapa negara lain. Hal ini untuk menunjukkan etika dan moralitas, karena itu jangan menghindar dengan menjawab belum tentu bersalah hingga ada keputusan pengadilan. “Kalau JK konsisten dengan pemberantasan korupsi, maka harus mundur dari posisi sebagai RI-2, sebagai bentuk penghormatan atas penegakan hukum. Juga harus merelakan keluarganya yang diduga kuat terlibat dalam penggelapan pajak untuk segera diproses sesuai hukum yg berlaku,” kata Ketua Umum SAKTI (Serikat Kerakyatan Indonesia), Standarkiaa Latief menjawab Harian Terbit, di Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Menurut aktivis 80-an ini, terbongkarnya Panama Papers yang juga mengungkap daftar orang-orang Indonesia yang menyembunyikan aset senilai 250 ribu triliun menunjukan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat bahaya korupsi. Karenanya, lanjut alumni Fisip Universitas Nasional ini, hukum harus ditegakkan, dan aset-aset hasil penggelapan pajak tersebut harus ditarik dikembalikan kepad negara. Keluarga JK yang terlibat lainnya, kata Kiaa, bisa dikenakan ancaman hukuman di atas 5 tahun sebagaimana UU No.8/2010, yaitu tentang Pencegahan dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dia mengatakan, dengan terungkapnya Panama Papers yang juga mengungkap orang-orang Indonesia semakin membuktikan bahwa perilaku 'kejahatan luar biasa' (extra ordinary crime) di tanah air seolah perbuatan yang lazim dilakukan dalam sistem kekuasaan yang berjalan.
“Perilaku ini harus dihentikan, DPR RI harus segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kejahatan tersebut. Jika DPR RI tidak melaksanakan fungsi tersebut, maka patut diduga bahwa DPR RI juga menjadi bagian dari konspirasi jahat selama ini,” ujar Kiaa. Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung bereaksi ketika sejumlah nama pengusaha yang merupakan kerabatnya, disebut di sejumlah media konon ada dalam dokumen Panama Papers. Jusuf Kalla mengatakan jika benar, nama keluarganya ada di Panama Papers bukan berarti mereka menghindari pajak. "Sama sekali tidak, semua saya suruh cek, pajaknya jelas," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 12 April 2016.
Nama kerabat Kalla yang disebut-sebut di media, ada dalam Panama Papers adalah Solihin Kalla (anak), Ahmad Kalla (adik), Aksa Mahmud (adik ipar), dan Erwin Aksa (keponakan). Jusuf Kalla mengklaim, keberadaan nama kerabatnya itu adalah untuk tujuan bisnis. Mereka melakukan itu terutama pada awal 2000-an di saat perekonomian Indonesia mengalami kesulitan. Penggunaan perusahaan luar negeri adalah untuk mencari modal kerja serta untuk memudahkan ekspor keluar negeri. Menurut Jusuf Kalla, umumnya pengusaha pada awal 2000 mencari alternatif menggunakan perusahaan luar negeri. Selain karena perusahaan dalam negeri mengalami krisis, banyak pula perusahaan dalam negeri yang di-black list karena tidak memenuhi syarat. "Seperti kasus adik saya, saya tanya, buat apa kamu bikin. Dia bilang wah saya lupa, cuma waktu itu buat tender letter of credit, supaya diterima, pakai perusahaan luar," kata Jusuf Kalla. Dia mengklaim, upaya semacam itu justru merupakan langkah penyelamatan perusahaan-perusahaan saat kondisi negara mengalami krisis.
(Tbt/Tmpo)