
KONFRONTASI- Freeport diduga culas. Ketua Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi menilai, PT Freeport Indonesia dapat disebut telah melanggar etika berbisnis jika terbukti merekam pembicaraan Ketua DPR Setya Novanto.
Bukti rekaman tersebut dinilai sebagai upaya Freeport untuk memaksa agar perpanjangan kontrak cepat dilakukan.
"Ini membuktikan kebenaran (soal) apa yang selama ini dikatakan bahwa pimpinan Freeport akan melakukan apa saja untuk memuluskan perpanjangan kontrak, misalnya dengan melobi pejabat dengan iming-iming saham," ujar Adhie dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/11/2015).
Adhie mencurigai bahwa kegiatan merekam pembicaraan Direktur PT Freeport Indonesia Marroef Sjamsoeddin, Novanto, dan seorang pengusaha adalah kebijakan Amerika.
Jika rekaman tersebut terbukti berasal dari Freeport, maka perusahaan tersebut dapat disebut melanggar etika.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Effendi Simbolon, mengatakan hal serupa. Menurut dia, bisa saja pihak Freeport sengaja membuat rekaman untuk memuluskan proses renegosiasi kontrak.
Selain itu, Effendi menilai, pembicaraan yang terbongkar tersebut dapat menjadi blunder bagi Freeport.
Ia mengusulkan agar pemerintah membentuk tim pencari fakta untuk menelusuri dugaan tersebut.
"Ini karena dua bulan sebelum Jokowi ke AS, Pemerintah Amerika resah terhadap hubungan Jakarta- Beijing, kedekatan Indonesia dengan Rusia soal pertahanan, dan soal Freeport. Saya tidak tahu apa ini ada hubungannya dengan Jokowi mempercepat kunjungan ke AS," kata Effendi.
Kasus Freeport tak sebatas pencatutan nama dua petinggi republik. Bulan lalu, tepatnya 7 Oktober 2015, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyurati Chairman Freeport McMoran James Robert Moffett.
Surat bernomor 7522/13/MEM/2015 itu sempat mencuat ke permukaan, sebelum akhirnya tenggelam karena isu pencatutan.
Ada 4 poin penting di surat itu, sebagai jawaban atas permohonan perpanjangan operasi PT Freeport Indonesia yang dikirim Moffett pada tanggal yang sama.
Pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy, menilai, surat Sudirman Said tersebut adalah substansi utama persoalan Freeport selama ini.
Dalam surat itu, dia mengatakan, Sudirman seakan menjanjikan perubahan atau penataan regulasi demi kepentingan Freeport.
"Persoalan besarnya di mana? Kenapa Anda (Menteri ESDM) mesti menjanjikan penataan regulasi yang sesuai dengan kepentingan Freeport. Itu suratnya Sudirman, 7 Oktober 2015, itu masalahnya," ujar Noorsy dalam salah satu acara diskusi di Jakarta, Minggu (22/11/2015).
Berdasarkan poin keempat surat Sudirman tersebut disampaikan bahwa persetujuan perpanjangan kontrak Freeport Indonesia akan diberikan segera setelah hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang mineral dan batubara diimplementasikan.
Selain itu, masih dalam poin keempat, Sudirman menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen memastikan keberlanjutan investasi asing di Indonesia.
Namun, penyesuaian peraturan diperlukan untuk itu. Bagi Ichanuddin Noorsy, dengan surat itu, Sudirman telah melanggar sumpah jabatan sebagai menteri.
"Dia tidak patuh kepada jabatan. Kenapa? Sesungguhnya seorang menteri tak boleh menjanjikan bahwa peraturan perundang-undangan itu disesuaikan dengan kepentingan asing," kata dia.
Terkait dengan hal tersebut, masyarakat juga diminta untuk cermat melihat lebih dalam substansi kasus Freeport hingga tak hanya terpaku pada persoalan pencatutan.
Caranya, cermati timeline kasus Freeport dari 8 Juni 2015 hingga 7 Oktober 2015. Setidaknya ada 4 peristiwa penting yang menurut dia harus diperhatikan dalam rentan waktu tersebut.
Pertama, pertemuan antara Ketua DPR RI Setya Novanto, pengusaha Reza Chalid, dan Direktur Utama Freeport Indonesia Marroef Sjamsoeddin.
Kedua, adanya nota kesepahaman antara Pemerintah dan Freeport pada 25 Juli 2015. Tanggal tersebut merupakan batas masa nota kesepahaman (MOU) tahap kedua renegosiasi kontrak Freeport yang dimulai sejak 25 Januari 2015.
Ketiga, adanya surat Dirjen Mineral dan Batubara kepada Freeport pada 31 Agustus 2015. Surat bernomor 1507/30/DJB/2015 ini merupakan teguran kepada Freeport karena dinilai tidak beritikad baik dan bermaksud tidak akan menyelesaikan amandemen kontrak karya (KK). Selain itu, Freeport juga dinilai tidak taat pada Pasal 169 huruf (b) UU Nomor 4 Tahun 2009.
Peristiwa keempat, adanya surat Sudirman Said kepada Chairman Freeport McMoran, James Robert Moffett, pada 7 Oktober 2015. (KCM)