
KONFRONTASI-Ada persoalan serius di balik kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto. Pakar hukum dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, menyoroti soal rekaman pembicaraan yang menjadi bukti bagi Menteri ESDM Sudirman Said saat melaporkan Setya ke Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).
Asep mengatakan, perekaman tanpa sepengetahuan yang bersangkutan dan kemudian disebarkanluaskan tanpa izin berarti merupakan tindakan melanggar hukum. Terlepas dari benar atau tidaknya isi rekaman pembicaraan, Asep menyebut ada persoalan serius karena ada pihak yang tak berwenang namun menyadap pembicaraan dan menyerahkannya ke pihak lain.
“Yang namanya merekam apalagi sampai menyebarkan ini harus seizin yang bersangkutan. Kalau pengusaha saja bisa menjebak seorang pimpinan lembaga tinggi negara seperti ini, bisa dibayangangkan tidak jika penguasa melakukan hal seperti ini pada rakyatnya,” katanya sebagaimana dikutip JPNN, Sabtu (21/11).
Pernyataan Asep itu merujuk pada rekaman pembicaraan beserta transkripnya yang disetorkan Sudirman ke MKD. Dalam rekaman itu disebut-sebut ada suara Setya Novanto, pengusaha M Riza Chalid, serta Direktur Utama PT Freeport Indonesia (PTFI) Maroef Sjamsoeddin.
Dari pengakuan Sudirman, rekaman itu diperoleh dari Maroef saat bertemu dengan Setnov -sapaan Setya- dan Riza. Pertemuannya digelar di sebuah hotel di kawasan SCBD, Jakarta Selatan pada Juni lalu.
Lebih lanjut Asep mengatakan, Setnov bisa menuntut balik karena pembicaraannya direkam dan disebarluaskan. Sebab, penyadapan dan perekaman tanpa menghiraukan aturan berarti sama saja melanggar hukum. “Penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan melanggar hukum,” imbuhnya.
Karenanya Asep juga mencermati pernyataan Menkopolhukam Luhut Panjaitan yang menyebut langkah Sudirman melapor ke MKD tanpa seizin Presiden Jokowi. Menurut Asep, pernyataan Luhut itu justru menunjukkan pemerintah khawatir bakal digugat balik karena ada yang salah dalam proses pengumpulan bukti untuk melaporkan Setnov.
“Jika bukti didapatkan tidak melalui proses hukum yang benar, maka pengadilan pun bisa menolak dan membatalkan bukti yang diajukan. Bahkan bukan tidak mungkin pihak yang digugat bisa menuntut balik,” lanjut Asep.
Guru besar ilmu hukum tata negara itu lantas membandingkan rekaman pembicaraan soal dugaan pencatutan itu dengan kasus video mesum Nazril Irham alias Ariel. Dalam kasus Ariel, kata Asep, hanya vokalis Noah itu saja yang dihukum karena merekam adegan mesum dengan 2 perempuan secara terpisah.
Sedangkan dua wanita yang muncul dalam video porno Ariel justru tak tersentuh hukum. “Masalah bahwa para wanita tersebut melanggar hukum agama atau hukum pernikahan kan tidak diadili. Kalau pidananya adalah asusila, maka semua wanita yang terlibat juga harus kena saat itu,” kata Asep.
Dari perbandingan itu, Asep melihat ada kekhawatiran pemerintah bahwa Setnov justru tak terjerat proses hukum. “Ini tampaknya yang dikhawatirkan oleh si pelapor, merekam dan menyebarkan tanpa izin,” ulasnya.[mr/jpnn]