
KONFRONTASI- Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino membantah dugaan penyidik Bareskrim Polri terkait tindak pidana korupsi sekaligus pencucian uang melalui pengadaan 10 unit mobile crane di PT Pelindo II.
Perkara korupsi 10 mobile crane itu semula ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Mabes Polri. Namun, penanganannya kini bekerja sama dengan Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor).
Dittipideksus mengusut dugaan pencucian uang, sementara Dittipikor mengusut dugaan korupsi. Selama berjalannya proses pengusutan perkara tersebut, penyidik telah menetapkan Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II berinisial FN sebagai tersangka.
Temuan penyidik, pengadaan 10 mobile crane itu diduga tidak sesuai perencanaan sehingga menyebabkan kerugian negara. Pengadaan itu juga diduga diwarnai mark up anggaran.
Melalui siaran pers, Senin (9/11/2015), Lino memaparkan, pengadaan itu sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2014. Hasil audit BPK dengan nomor 10/AuditamaVII/PDTT/02/2015 merekomendasikan agar Pelindo memberikan sanksi maksimum, yakni sebesar 5 persen kepada kontraktor atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
"Rekomendasi tersebut sudah dilaksanakan oleh Pelindo yang bisa dibuktikan melalui surat ke BPK tanggal 6 April 2015 mengenai tindak lanjut atas temuan BPK itu," ujar Lino.
Lino mengakui, ada keterlambatan pada proses pengadaan itu. Oleh karena itu, Pelindo mengenakan sanksi denda kepada kontraktor sebesar 4 persen saja. Adapun, rekomendasi BPK bahwa denda harus sebesar 5 persen ditujukan agar tidak terjadi kekurangan penerimaan yang bisa dianggap sebagai kerugian negara.
"Rekomendasi itu sudah kami jalankan dengan memberikan denda tambahan sebesar 1 persen atau Rp 456,5 juta kepada kontraktor," lanjut Lino.
Hasil audit BPK, lanjut Lino, juga menyebutkan bahwa penempatan mobile crane tidak sesuai dengan rencana investasi. Rencananya, 10 unit mobile crane itu memang direncanakan ditempatkan di pelabuhan cabang Banten, Panjang, Palembang, Jambi, Teluk Bayur, Pontianak, Cirebon dan Bengkulu. Ia mengklaim punya alasan kuat untuk melaksanakannya.
"Sebab ada perubahan kebutuhan sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan. Tadinya memang di pelabuhan-pelabuhan itu. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, dewan direksi sepakat merelokasi alat ke Tanjung Priok saja dengan alasan kebutuhan pelabuhan Jakarta yang sedang menata pola layanannya," ujar Lino.
"Jadi masalah audit BPK ini sebenarnya sudah clear. Hasil audit tidak menyatakan adanya kerugian negara," lanjut dia.
Lino juga menampik bahwa 10 unit mobile crane itu mangkrak di Tanjung Priok. Dari catatan log book perusahaannya, mobile crane itu beroperasi dan diklaim telah menghasilkan pendapatan sebesar Rp 3,7 miliar selama periode April 2014 hingga Juli 2015.
Awal pengadaan
Pengadaan 10 unit mobile crane dilakukan pada 2011 dengan anggaran Rp 58,9 miliar. Pengadaan itu bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, khususnya soal kecepatan penanganan barang di pelabuhan. Pengadaan itu sesuai surat keputusan direksi. Lelang pertama dilakukan Agustus 2011 diikuti oleh lima perusahaan, yakni PT Altrak 1978, PT Traktor Nusantara, PT Hyundai Corporation, PT Berdikari Pondasi Perkasa dan Guanxi Narishi Century M&E Equipment.
Akan tetapi, lelang awal digugurkan karena harga yang diajukan peserta lelang lebih tinggi dari harga perkiraan sendiri. Lelang dilaksanakan lagi pada November 2011. Kali ini, lelang hanya diikuti oleh enam peserta, yakni lima perusahaan yang ikut dalam lelang pertama ditambah PT Ifani Dewi.
Pada Januari 2012, PT Guanxi Narishi Century M&E Equipment dinyatakan sebagai pemenangnya dengan harga penawaran setelah ditambah PPN yani Rp 45,65 miliar. Harga ini 23 persen lebih rendah dari HPS.
Diperiksa sebagai saksi
Lino telah menjalani pemeriksaan selama sembilan jam pada Senin (9/11/2015) kemarin. Ia diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini. Penyidik mengajukan 20 pertanyan kepada Lino.
Kepala Subdirektorat I Tipikor Kombes (Pol) Adi Deriyan mengatakan, penyidik menanyakan seputar tugas, pokok dan fungsi direktur utama, surat keputusan (SK) dan rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) sebagai dasar pengadaan mobile crane itu.
Adi mengatakan, penyidik masih memerlukan keterangan Lino. Rencananya, penyidik bakal memeriksa Lino untuk yang kedua kalinya pada pekan depan.
"Sepertinya Senin (16 November 2015) akan kami periksa lagi," ujar Adi.
Seusai pemeriksaan, Lino mengaku terkesan dengan kerja penyidik.
"Saya very impressive hari ini. Menurut saya very impressive untuk (penyidik) Tipikor. Karena di luar gambaran polisi itu ya kayak begitu, kayak begitu. Tapi hari ini saya ke sini betul-betul berubah pikiran saya. Apa yang mereka kerjakan, very impressive," ujar Lino.
Ia terkesan dengan cara memperlakukan dirinya selama pemeriksaan. "Cara orang nanya, kemudian dijelaskan case-nya seperti apa. Menurut saya very impressive lah," lanjut dia.
Lino mengaku siap memenuhi panggilan jika penyidik masih membutuhkan keterangannya lagi.
Dalam penyidikan kasus yang dilakukan sejak Agustus 2015 tersebut, penyidik telah menetapkan Direktur Tekhnik Pelindo Ferialdy Noerlan sebagai tersangka.