Quantcast
Channel: PT Pelabuhan Indonesia Pelindo
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Soal Dana Aksi Islam, Alumnus Pondok Gontor Adnin Armas jadi Tersangka. : “Saya Tak Akan Diam” katanya.

$
0
0

Menurut polisi, terdapat indikasi pelanggaran ketika Adnin mengizinkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) memakai rekening yayasannya, untuk menampung dana umat yang hendak menyumbang bagi penyelenggaraan Aksi Bela Islam 411 dan 212. Sampai tulisan ini dibuat, polisi tidak bisa membuktikan pelanggaran itu, apalagi soal keterlibatan Adnin di dalamnya.

Yayasan Keadilan untuk Semua didirikan Adnin untuk berkhidmat di tiga bidang, yakni bidang keagaamaan, pendidikan, dan kemanusiaan. Jauh sebelum terbentuk GNPF-MUI dan terselenggaranya Aksi Bela Islam, ia dan yayasannya banyak memberi bantuan untuk pengungsi Rohingya, korban gempa Pidie, dan korban serangan di Tolikara. Pria yang akrab disapa Ustadz Adnin ini bahkan menyuarakan pembelaan terhadap nasib pegungsi Rohingya ketika menjadi pembicara di Universitas Oxford, Inggris, tahun 2015 lalu.

Siapa sebenarnya Adnin Armas? Untuk mengenalnya lebih jauh, kita bisa memulai dari sebuah novel laris, Negeri 5 Menara, yang ditulis Ahmad Fuadi. Dalam novel itu, Fuadi menuliskan kenangan masa kecilnya (yang berarti, terinspirasi dari kisah nyata) di Pondok Modern Gontor. Di sana, ia bersahabat dengan beberapa santri yang datang dari penjuru Indonesia. Salah satu sahabatnya bernama Raja, anak Medan yang kutu buku dan selalu menjinjing kamus kemana-mana. Di kehidupan nyata, ialah Adnin Armas.

Budaya Ilmu

Adnin berdarah Aceh, namun lahir di Medan tahun 1972. Pendidikan di Gontor yang menanamkan akhlak dan adab membuatnya amat menjunjung tinggi budaya ilmu. Setelah selesai menempuh pendidikan di Gontor, ia melanjutkan kuliah strata 1 dalam bidang filsafat di International Islamic University of Malaysia, Kuala Lumpur. Kepada penulis, beberapa waktu lalu, ia menceritakan kebiasaannya ketika itu. “Saya menulis makalah filsafat, mulai dari Imam Al-Ghazali sampai Edmund Husserl, dengan berupaya merujuk langsung ke sumber utamanya,” ujarnya. Saat di luar kelas, sambungnya, ia bergaul dengan mahasiswa di jenjang yang lebih tinggi, bahkan dengan dosen-dosen.

Usai meraih gelar sarjana, Adnin melanjutkan pendidikan strata 2 di Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC), sebuah kampus dengan bangunan dan perpustakaan megah yang didirikan dan dipimpin langsung oleh filsuf muslim terbesar hari ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Ia juga menikahi Irma Draviyanti, yang dikenalnya di kampus IIUM. Irma adalah mahasiswi di jurusan ilmu ekonomi. Mereka menikah di Cipanas, 15 Februari 1997. Cipanas adalah kampung nenek Irma. Dengan dukungan istrinya, ia menyelesaikan S2 dengan judul tesis “Fakhruddin ar-Razi on Time”, sebuah ulasan filsafat waktu dari seorang ulama filsuf-kalam.

Selama berkuliah, Adnin harus memenuhi tuntutan akademis sekaligus rumah tangga. Untuk urusan akademis, ia harus menguasai bahasa asing selain Arab dan Inggris, seperti Yunani kuno dan Latin. Hal ini karena bagi Naquib Al-Attas, mempelajari pemikiran Barat dan Islam secara sungguh-sungguh akan jauh lebih baik bila menguasai langsung karya-karya utama pemikir mereka, yang ditulis dengan bahasa aslinya. Selain itu, pendidikan di ISTAC juga mengharuskan Adnin -dan mahasiswa lain- mempelajari mata kuliah seperti the worldview of Islam, logika formal, sampai posmodernisme. Naquib Al-Attas mendatangkan profesor-profesor berbagai bidang untuk mengajar mata kuliah itu, kecuali the worldview of Islam yang diampu langsung oleh Naquib Al-Attas.

Dalam sebuah diskusi santai dengan penulis, Adnin menunjukkan lembar nilai mata kuliahnya, dan hampir semua bernilai “A”.

Untuk menunjang kebutuhan rumah tangga, Adnin dan istrinya berdagang martabak sampai baju koko. Kepada penulis, Irma bercerita bahwa ia membuat martabak mini di rumah lalu dibawa suaminya untuk dititipkan ke kantin kampus. Setiap Jum’at, keduanya mendatangi masjid-masjid di Kuala Lumpur untuk menawarkan baju koko kepada jama’ah. Selain itu, baju koko juga dijual di pasar yang becek. Baju koko tersebut bermerek “Armas”, yang diperoleh Adnin dari keluarganya di Medan. Sampai saat ini, usaha tersebut masih berjalan, bahkan mereka bisa mengekspor baju koko itu ke Malaysia.

Kegiatan berdagang itu tidak membuat Adnin kehabisan waktu untuk belajar. Menurut Irma, suaminya selalu membawa buku untuk dibaca di mana pun, termasuk di pasar saat keduanya berdagang. Hasil bacaan tersebut kerap diolah menjadi karya tulis yang masuk ke jurnal dan media lain.

Hal ini pula yang membuatnya terbiasa berdiskusi tentang pemikiran Islam, isu-isu umat terkini, atau buku tertentu dengan rekan-rekannya, terutama sesama mahasiswa Indonesia yang juga berkuliah di ISTAC seperti Hamid Fahmi Zarkasyi, Syamsuddin Arif, Adian Husaini, Nirwan Syafrin, dan Ugi Suharto. Dari sana tercetuslah pendirian Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), sebuah lembaga yang mewarnai wacana keislaman di Indonesia sampai sekarang.

Selain dengan teman kuliahnya, Adnin juga terlibat dalam diskusi surat elektronik (yang dulu disebut milis) dengan pihak lain, termasuk kalangan muslim liberal. Hasil diskusi yang terekam sudah diterbitkannya menjadi sebuah buku berjudul Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal. Di buku itu, ia terlibat polemik dengan Denny JA, Luthfie Assyaukanie, Ulil Abshar Abdalla, Rumadi dkk. tentang tema-tema penting seperti otentisitas Al-Qur’an dan sekularisasi.

Buku lain yang diterbitkan Adnin adalah Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an. Jika buku yang disebut pertama adalah rekaman polemik, buku Metodologi Bibel ini adalah buku utuh hasil penelitian mandirinya. Buku-buku teolog Kristen dan orientalis dibacanya untuk menunjukkan bahwa penerapan tradisi biblikal dalam mengkaji Al-Qur’an, seperti pendekatan hermeneutika yang menisbikan makna wahyu, adalah keliru. Syamsuddin Arif -kini direktur INSISTS menggantikan Adnin- saat menjabat sebagai dosen di IIUM, pernah menyebut bahwa buku Adnin itu menjadi bacaan wajib di jurusan studi Islam sebuah universitas di Malaysia.

Membina Yang Muda

Saat pulang ke Indonesia, Adnin mengamalkan ilmunya dengan berbagai peran di INSISTS (sebagai peneliti, direktur eksekutif, dan kini peneliti senior), Majalah GONTOR (sebagai pemimpin redaksi), Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), dan lain-lain. Di INSISTS, ia menerbitkan jurnal pemikiran Islam “ISLAMIA”, sebuah jurnal yang mengkaji kaitan warisan pemikiran dan peradaban Islam dengan persoalan kontemporer.

Di sini pula terselenggara kelas-kelas terbatas yang mengajarkan pemikiran Islam. Pada 2007, ia mengampu workshop “Islamic Worldview” dengan peserta penggiat dakwah di Jakarta, Depok, dan wilayah lain. Bersama rekan-rekannya, ia menyelenggarakan workshop sejenis di kampus, pesantren, dan lembaga lain di Indonesia. Memasuki tahun 2013, ia mengadakan Kuliah Filsafat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, yang biasa disingkat KFA, dan Kuliah Filsafat Alam Fakhruddin Ar-Razi. KFA berlangsung sampai 3 angkatan dan Kuliah Filsafat Alam sampai 2 angkatan. Peserta yang hadir rata-rata lebih muda darinya.

Meski murid-muridnya lebih muda, Adnin tidak sungkan bercengkerama dengan mereka, dalam obrolan di kesempatan apa saja. Isi obrolan itu adalah hal-hal “berat” seperti filsafat dan pemikiran Islam, namun mengalir dalam suasana santai. Ia juga tidak pernah menolak jika ada muridnya yang meminta pendapat, arahan dalam menulis, bahkan meminjam buku-bukunya. Rumahnya selalu sedia menyambut tamu yang ingin belajar dan berdiskusi. Kegiatan tersebut seringkali baru terhenti saat Adnin atau muridnya sadar bahwa malam sudah larut, bahkan nyaris pagi.

Generasi yang lebih muda lagi, yakni yang masih menempuh pendidikan dasar dan menengah, tidak lepas dari perhatian Adnin. Bersama Majalah Gontor, ia sejak tahun 2011 menyelenggarakan Olimpiade Studi Islam dan Matematika Fakhruddin ar-Razi Competition. Acara tahunan itu melibatkan anak-anak muslim dari sekolah se-Indonesia. Untuk menjaga mutu, ia senantiasa memantaunya sampai usai, bahkan ia sendiri yang membuat soal-soal olimpiade itu dengan merujuk pada buku-buku standar olimpiade matematika mancanegara.

Dalam sebuah video di kanal Youtube resmi olimpiade itu, Adnin menyampaikan tujuannya, yakni “…menghasilkan generasi muslim intelektual, yang memahami ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah sebagaimana para ulama terdahulu, demi kejayaan kembali peradaban Islam.”

Kini polisi menyeret Adnin dalam kasus dugaan TPPU. Meski masih berstatus sebagai saksi, ia dan yayasan kecilnya amat yakin bahwa tidak ada pelaku pidana yang memasukkan uang haram ke rekening itu, sebagaimana tertera dalam pasal TPPU. Setelah kasus ini berlalu, ia akan melanjutkan kegiatan dakwahnya, termasuk menyemai budaya ilmu bagi sebanyak mungkin anak muda di negeri ini.

RUANG seluas 3×3 meter persegi di sebuah perkantoran di bilangan Jakarta Selatan itu sudah dipenuhi juru warta. Di pojok ruangan, di atas karpet hijau, duduk ulama muda, Adnin Armas. Ia adalah Ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua, yayasan yang sekarang tengah menjadi sorotaan media massa karena dituding sebagai wadah praktik pencucian uang.

Waktu ketika itu (Senin, 20/2) sudah menunjukkan hampir pukul 23.00. Para juru warta masih serius mendengarkan penuturan sang peneliti muda pada Institute for Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini. Sebagian ada yang mencatat di buku sakunya, sebagian lagi mengetik di laptopnya.

“Saya tak akan diam,” kata Adnin. Suaranya keras. Tatapan matanya tajam. “Mana mungkin saya diam ketika saya dan para ulama difitnah seperti ini,” jelas Adnin lagi.

Sebagai mana diberitakan sebelumnya, pihak kepolisian telah memanggil Adnin Armas sebagai saksi atas dugaan pelanggaran UU tentang pencucian uang dan UU tentang yayasan. Dalam kasus ini pihak kepolisian telah menetapkan Islahuddin Akbar, salah seorang pegawai bank swasta, sebagai tersangka.

Baca: Dinilai Banyak Keanehan, Kuasa Hukum Adnin akan Lakukan Pra Peradilan

Islahuddin, selaku orang yang dipercaya oleh Bachtiar Nasir (Ketua GNPF), dianggaap bersalah karena telah mencairkan dana yayasan yang dipimpin Adnin. Pencairan ini dimungkinkan setelah ia mendapat kuasa dari Adnin selaku ketua yayasan.

Pihak GNPF sendiri, kata Adnin, telah meminjam rekening yayasannya guna menampung dana dari masyarakat yang akan membantu pelaksanaan aksi bela Islam tersebut. Saat pencairan dana inilah, Adnin ikut dipersalahkan. Tindakannya memberikan kuasa kepada Islahudin dianggap bersalah oleh pihak Kepolisian. Padahal, kata Adnin, justru ia tak mungkin menahan-nahan uang umat di dalam rekening yayasannya.

Setelah usai menjalani pemeriksaan ketiga pada Rabu (15/02/2017), Adnin rajin bersilaturahim kepada para tokoh. “Masyarakat harus tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya,” kata Adnin lagi.

Ia mengaku tak mendapatkan keuntungan serupiah pun dari niat baiknya meminjamkan rekening kepada GNPF untuk penggalangan dana Aksi Bela Islam. Lalu mengapa rekening gendut kepolisian yang jelas-jelas memperkaya pribadi tak pernah tuntas diusut?

Andai ada persoalan administrasi pengelolaan yayasan yang dianggap salah, kata Adnin lagi, mengapa pihak kepolisian merasa itu persoalan penting sehingga harus mengerahkan daya upaya untuk mengkriminalisasi dirinya? Bukankah tidak ada pihak yang dirugikan secara finansial?

Baca: Seusai Diperiksa 10 Jam, Adnin: Apakah Meminjamkan Rekening untuk Umat Islam Salah?

Lantas, cerita Adnin lagi, bagaimana dengan kesalahan prosedur yang dilakukan pihak kepolisian saat memeriksa dirinya selaku saksi? Adnin menceritakan bagaimana pemanggilan kedua dan ketiga dilakukan dalam jeda amat singkat, penyerahan surat pemanggilan pada tengah malam, hingga penggeledahan rumah selama 5 jam dalam posisi ia masih berada di kantor Bareskrim Polri dan statusnya masih saksi.

“Masyarakat harus tahu semua itu,” kata Adnin. Malam pun semakin gelap dan sepi.

Hari ini (Rabu 22/2), Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menyebut Adnin Armas sebagai tersangka atas kasus pelanggaran UU Yayasan. Pernyataan ini disampaikan Kapolri saat rapat kerja bersama Komisi II DPR di kompleks Gedung DPR Senayan Jakarta.

Terhadap berita ini, Adnin mengaku belum tahu. Namun, apapun yang akan menimpa dirinya, kata Adnin, masyarakat tetap harus tahu yang sebenarnya.*

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III mengatakan, bahwa Ustad Adnin Armas selaku ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua (KUS) menjadi tersangka dalam kasus dugaan pidana penyalahgunaan yayasan.

“Untuk itu, saudara Adnin dan Bachtiar Nasir kami (telah) dengar keterangannya sebagai saksi, dan Adnin sebagai tersangka kasus undang-undang yayasan ini,” ujar Tito di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2).

Lebih lanjut, Tito menjelaskan bahwa Ustadz Adnin Armas selaku ketua yayasan dikenakan Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan sebagaimana perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

“Dia terancam pidana 5 tahun penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 70 undang-undang tersebut” ungkapnya.

Tito mengaku alasan dari ditetapkannya Ust Adnin sebagai tersangka adalah karena selaku ketua atau pengurus yayasan telah mengalihkan atau menguasakan pencairan dana Yayasan KUS kepada pihak lain yang bukan pengurus yayasan, Ketua GNPF-MUI KH Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) dan pegawai Bank BNI Syariah Islahudin Akbar.

“Penguasaan itu tanpa persetujuan pengurus Yayasan KUS lainnya, dan sesuai undang-undang Yayasan, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 sebagaimana perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang yayasan disampaikan bahwa, dana yayasan tidak dapat digunakan oleh pihak ketiga,” kata Tito.

Diketahui, Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Yayasan berbunyi, “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas”.

Oleh karena itu, anggota PAN, Daeng Muhammad mengatakan dalam RDP, bahwa donasi yang dikenakan pidana dalam Yayasan KUS, adalah notabenenya infaq untuk GNPF-MUI, namun kenapa malah dipermasalahkan.

“Biasanya dalam yayasan itu memang ada infaq atau sodaqoh, dan kenapa malah dipersoalkan, maka seharusnya seluruh yayasan dilakukan audit, jangan hanya ini saja” ungkapnya.

Rapat dengar pendapat antara anggota DPR dan Kapolri masih berlangsung saat berita ini diturunkan.

Penulis: Ismail Alam

Category: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Trending Articles