
KONFRONTASI- Meneg BUMN Rini Soemarno jadi beban berat dan momok bagi Presiden Jokowi untuk menggerakkan BUMN sebagai lokomotif perubahan ekonomi sesuai Nawacita dan Trisakti. Sebagai seorang menteri BUMN, Rini terbukti tidak profesional mengelola aset negara sebesar 4.600 triliun rupiah sehingga Rini ditolak hadir di DPR-RI. Rini sudah menyandera Jokowi, juga jadi momok dan beban berat Jokowi. Mengapa tak dicopot saja? BUMN-BUMN terbukti tak dikelola secara profesional oleh Rini. Banyak BUMN bermasalah, bau sangit korupsi atau inefisiensi di BUMN era Menteri Rini.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/lahagu/7-alasan-mengapa-menteri-rini-soemarno-... Said, mantan Menterio ESDM menilai, Pergantian kepemimpinan yang tidak berpola, baik periode maupun tata cara penunjukannya, seperti dalam kasus Pertamina, menunjukan governance yang rentan diwarnai kepentingan jangka pendek, sementara ekonom Faisal Basri mengatakan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan penyebab masalah kepemimpinan di PT Pertamina (Persero). Masalah pergantian pimpinan yang dibuat kementerian berujung pada pencopotan Dwi Soetjipto dari Direktur Utama Pertamina. MEneg bUMN Rini Soemarno sudah bermasalah dan jadi sumber kisruh di tubuh Pertamina.
Komisi VI DPR pernah memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani guna membahas anggaran Kementerian BUMN di 2017. Karena, DPR tidak mengakui Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN. Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azmam Natawijaya mengaku kesulitan berkoordinasi dengan Kementerian BUMN. Padahal, Komisi VI merupakan mitra kerja utama dari kementerian BUMN.
Apalagi, masih kata politisi Demokrat ini, wacana penggabungan BUMN atau holding sedang ramai diperbincangkan. Untuk merealisasikan rencana ini, kementerian BUMN perlu mendapat persetujuan Komisi VI DPR.
Azman mengaku, rencana Holding BUMN ala Rini ini tidak tahu mau dibawa kemana, lantaran tidak adanya komunikasinya dengan Komisi VI. Maka dari itu Azan berharap Menteri Rini bisa kembali hadir rapat kerja dengan Komisi VI.
"Kita enggak tahu dibawa ke mana. Ada uang negara di situ. Enggak bisa deputi saja. Harus dengan pembantu Presiden (Menteri Rini) ," tandas anak buah SBY ini.
Ya, Azman mungkin lupa. Sejak adanya keputusan politik dari Pansus Angket Pelindo II yang berisi rekomendasi Presiden SBY untuk memecat Menteri BUMN Rini Soemarno, memiliki konsekuensi yang berat. Semestinya istan Jokowi pecat Rini sebab secara etika dan politik, Rini sudah tak dianggap sebagai menteri BUMN lagi oleh DPR.
Dan sejak saat itulah, DPR tak bisa menjalin kerja sama dengan Menteri Rini. Celakanya, Presiden Joko Widodo tidak mengindahkan rekomendasi tersebut. Alhasil, setiap pembahasan BUMN di DPR diwakilkan kepada menteri keuangan.
Sekarang, nasib Menteri Rini tak lebih hanya menteri di atas kertas saja. Lantaran DPR tak pernah mengakui eksistensinya. Pertanyaannya, mungkinkah Presiden Joko Widodo tidak tahu masalah ini? Jangan-jangan sengaja mendiamkannya.
Rini mendapat dana penyertaan modal negara (PMN) yang sangat besar. Menteri BUMN Rini Soemarno adalah satu-satunya menteri yang mencetak sejarah. Tidak ada seorang pun menteri sebelumnya yang mendapat kucuran dana dari APBN hingga mencapai Rp 104 triliun Rupiah. Jumlah itu yang terbesar dalam sejarah. Sebagai perbandingan, di zaman SBY dari tahun 2010-2014, dana PMN yang dianggarkan dari APBN hanya sebesar Rp 24 triliun. Sementara Rini, dana PMN yang dia peroleh dalam APBN 2015 saja sebesar Rp 64.8 triliun dan meminta PMN lagi pada anggaran 2016 sebesar Rp 39 triliun. Dan itu tidak dikonrol DPR karena Rini sudah secara de jure ditampik dan ditendang DPR.
Komisi VI DPR memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani guna membahas anggaran Kementerian BUMN di 2017. Karena, DPR tidak mengakui Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azmam Natawijaya mengaku kesulitan berkoordinasi dengan Kementerian BUMN. Padahal, Komisi VI merupakan mitra kerja utama dari kementerian BUMN.
Apalagi, masih kata politisi Demokrat ini, wacana penggabungan BUMN atau holding sedang ramai diperbincangkan. Untuk merealisasikan rencana ini, kementerian BUMN perlu mendapat persetujuan Komisi VI DPR.
"Ibu Menteri enggak boleh kemari. Kami sulit juga kalau begini. Kalau cuma dengar makanya kami enggak bisa tahu kondisinya. Enggak boleh ini secara tata krama," ujar Azam di Gedung DPR.
Azman mengaku, rencana Holding BUMN ini tidak tahu mau dibawa kemana, lantaran tidak adanya komunikasinya dengan Komisi VI. Maka dari itu Azan berharap Menteri Rini bisa kembali hadir rapat kerja dengan Komisi VI.
"Kita enggak tahu dibawa ke mana. Ada uang negara di situ. Enggak bisa deputi saja. Harus dengan pembantu Presiden (Menteri Rini) ," tandas anak buah SBY ini.
Ya, Azman mungkin lupa. Sejak adanya keputusan politik dari Pansus Angket Pelindo II yang berisi rekomendasi Presiden SBY untuk memecat Menteri BUMN Rini Soemarno, memiliki konsekuensi yang berat.
Sejak saat itulah, DPR tak bisa menjalin kerja sama dengan Menteri Rini. Celakanya, Presiden Joko Widodo tidak mengindahkan rekomendasi tersebut. Alhasil, setiap pembahasan BUMN di DPR diwakilkan kepada menteri keuangan.
Sekarang, nasib Menteri Rini tak lebih hanya menteri di atas kertas saja. Lantaran DPR tak pernah mengakui eksistensinya. Pertanyaannya, mungkinkah Presiden Joko Widodo tidak tahu masalah ini? Jangan-jangan sengaja mendiamkannya.
- See more at: http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2333276/menteri-rini-ditolak-dpr-p...
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/lahagu/7-alasan-mengapa-menteri-rini-soemarno-...
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/lahagu/7-alasan-mengapa-menteri-rini-soemarno-...
SOAL PERTAMINA
Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mencopot Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto dan Wakil Direktur Utama Ahmad Bambang, seakan menegaskan masalah 'matahari kembar' yang melanda korporasi terbesar di Indonesia ini dalam beberapa bulan terakhir. Pemilihan bos baru Pertamina pun diwarnai tarik menarik antarkubu sehingga sampai sekarang tidak mencapai titik temu.
Munculnya 'matahari kembar' di Pertamina berhulu dari usulan Dewan Komisaris untuk mengubah struktur dan menambah anggota direksi perusahaan tersebut pada Agustus tahun lalu. Ada penambahan dua direksi, yaitu Wakil Direktur Utama- Hilir dan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia.
Wakil Direktur Utama akan bertindak selaku Chief Operating Officer (COO) pada sektor hilir dan energi baru dan terbarukan. Pertimbangannya, bisnis Pertamina semakin menggurita dan menangani banyak proyek kilang minyak sehingga dinilai tidak cukup hanya berpusat di tangan direktur utama.
Dua bulan berselang, usulan tersebut disetujui Menteri BUMN. Padahal, usulan itu tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Dwi Soetjipto. Penunjukan Ahmad Bambang sebagai wakil dirut juga disebut-sebut karena kedekatannya dengan Menteri Rini.
Dalam perjalanannya, keputusan itu malah membelah Pertamina dan memunculkan 'matahari kembar'. Hal ini setidaknya diakui secara tidak langsung oleh Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng. Ia mengungkapkan, ada dua alasan mencopot Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang.
Pertama, keduanya dinilai lamban dalam bekerja. Salah satu contohnya, memutuskan posisi strategis yang kosong di perusahaan. Padahal, terdapat sekitar 20 posisi strategis di dalam jajaran Pertamina yang seharusnya sudah diganti dan diisi oleh pejabat baru.
"Pemilihan Pertagas (Direktur Utama) pun terlambat, bahkan banyak posisi yang masih kosong," kata Tanri saat konferensi pers usai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (3/2) siang. Sekadar informasi, Pertamina baru menunjuk Toto Nugroho sebagai Direktur Utama Pertagas pada Rabu lalu (1/2) setelah kosong selama hampir lima bulan.
(Baca: Menteri Rini Setuju Penambahan Posisi Wakil Dirut Pertamina)
Alasan kedua, masalah koordinasi yang tidak harmonis. Hal ini terlihat dari impor solar sebanyak 1,2 juta barel berjangka waktu enam bulan untuk mengatasi kekurangan pasokan dari kilang Balikpapan. Keputusan pada akhir tahun lalu itu diambil Ahmad Bambang tanpa persetujuan Dwi Soetjipto. Alasannya, Dwi masih berada di luar kota.
Berdasarkan evaluasi dan rekomendasi dari Dewan Komisaris Pertamina, Rini menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis sore (2/1). Menerima laporan tersebut, menurut Rini, Presiden juga menilai keberadaaan dua pemimpin di Pertamina memicu ketidakstabilan perusahaan. Padahal, Pertamina butuh kestabilan untuk menjalankan sejumlah proyek strategis seperti kilang minyak dan program BBM Satu Harga.
"Beliau (Jokowi) sepakat bahwa keadaan ini membahayakan Pertamina. Apalagi pemberitaan surat kabar yang menyorot soal dua kepemimpinan di Pertamina ikut membuat presiden resah," kata Rini.
Setelah mendapat lampu hijau dari Presiden, Rini meneken surat keputusan pemberhentian Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang pada Kamis malam. Surat itu kemudian dibacakan dalam RUPS Pertamina yang digelar di Kementerian BUMN, pukul 10.00 WIB, Jumat pagi. Dwi dan Ahmad Bambang turut hadir dalam acara itu. Namun, mereka enggan memberikan komentarnya dan langsung pergi usai RUPS.
Pencopotan 'matahari kembar' di Pertamina masih menyisakan masalah. Sumber Katadata mengungkapkan, sempat terjadi tarik-menarik antarkubu dalam memutuskan nakhoda baru Pertamina. Tarik-menarik tersebut dikabarkan melibatkan Luhut Binsar Pandjaitan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini menyorongkan nama Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Rachmad Hardadi untuk mengisi jabatan Direktur Utama Pertamina. Usulan tersebut turut didukung oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar.
Namun, usulan itu dimentahkan oleh Rini. "Apalagi Rachmad juga dianggap sebagai kubu Dwi Soetjipto," kata sumber tersebut. Kabarnya, Presiden juga tidak klop dengan calon nakhoda baru Pertamina itu.
Lantaran tidak mencapai titik temu, pemerintah menunjuk Direktur Gas dan Energi Baru Terbarukan (EBT) Pertamina Yenni Andayani sebagai Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina. Sedangkan posisi wakil dirut untuk selanjutnya direncanakan akan dihapuskan.
Menurut Tanri, pemilihan Yenni sebagai Plt Direktur Utama karena masa jabatan di Pertamina. "Pemilihan Yenni karena senioritas," katanya.
Selanjutnya, pemerintah dan dewan komisaris memiliki waktu hingga 30 hari ke depan untuk memilih dan mengangkat nakhoda baru Pertamina. Tanri mengatakan akan melakukan penilaian internal terlebih dulu untuk menentukan direksi baru dari dalam Pertamina.
Namun, tidak menutup kemungkinan calon bos baru Pertamina berasal dari luar perusahaan. Apalagi kalau melihat tarik-menarik kepentingan berbagai kubu terhadap perusahaan yang telah menghimpun laba bersih sebesar Rp 40 triliun hingga akhir Oktober 2016 tersebut.