Quantcast
Channel: PT Pelabuhan Indonesia Pelindo
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Ekonomi Makin Liberal, BUMN Diliberalisasi: Rini Soemarno-Sri Mulyani Campakkan Nawacita dan Trisakti

$
0
0

KONFRONTASI- Ekonomi Jokowi masih buram. Dalam pandangan orang-orang kapitalis atau media yang menjadi corong kepentingan para kapitalis, Menkeu Sri Mulyani  (SMI) dinilai memiliki prestasi yang luar biasa, padahal palsu,  di antaranya sukses melakukan reformasi besar-besaran pada lembaga perpajakan sekaligus bea dan cukai selama dirinya memimpin Kementerian Keuangan. Ia juga berhasil menggandakan investasi langsung ke Indonesia pada tahun pertamanya menjadi menteri, dari US$4,6 miliar pada 2004 menjadi US$8,9 miliar. Karena itu dia banyak menerima penghargaan. Majalah Forbes menyematkan gelar perempuan paling berpengaruh ke 23 di dunia. Pada tahun 2006 Majalah Euromoney menganugerahkan gelar Menteri Keuangan Keuangan terbaik atau sebagai Finance Minister Of the Year tahun 2006.

Padahal prestasi-prestasi  palsu yang dia hasilkan justru memberikan beban pada ekonomi Indonesia sehingga menyebabkan kerugian yang besar bagi negara. Kasus perampokan uang negara, yaitu Mega Skandal Century sebesar Rp 6,7 triliun itu terjadi dengan mulus pada saat Sri Mulyani menjadi menteri keuangan sekaligus ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Sebagai ketua KKSK, Sri Mulyani dianggap orang kedua yang paling bertanggung jawab setelah Wapres Boediono.

Dalam kaitan ini, Program pengampunan pajak (tax amnesty) yang digawangi  Menkeu Sri Mulyani tahun ini hanya menyisakan periode ketiga hingga 31 Maret 2017 ini. Di periode ini dipastikan tak ada wajib pajak (WP) besar yang akan ikut tax amnesty. Sementara Meneg BUMN Rini Soemarno juga amburadul  dalam mengelola Pertamina dan dalam mengelola BUMN  lainnya ke arah profesionalisme yang benar dan tangguh. Dua menteri perempuan itu tidak berhasil, mengapa  Presiden Jokowi diam saja? Pertamina  disorot publik, sementara tax amnesty makin loyo.

Untuk itu, pemerintah diminta kreatif dalam mencari peserta amnesti pajak seperti direksi BUMN dan kalangan profesi berpenghasilan tinggi.

“Jadi pada periode ketiga ini pemerintah bisa fokus ke sasaran tertentu. Misal, kalangan profesi tertentu dan direksi BUMN yang belum optimal mengikuti tax amnesty,” tandas Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, di Jakarta, Selasa (7/2).

Menurut dia, profesi yang berpenghasilan tinggi seperti advokat atau akuntan serta para direksi perusahaan pelat merah lebih efektif untuk ikut tax amnesty ketimbang hanya mengejar simpanan Rp500 juta di perbankan.

“Kalau begitu pemerintah harus mempunyai strategi yang fokus pada sumber daya itu,” ujarnya.

Apalagi memang, kata dia, terkait dana repatriasi dari peserta amnesti pajak ini semakin rendah, seiring tekanan dari isu global serta WP besar sendiri sudah masuk pada periode pertama.

Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, saat ini pemerintah lebih menfokuskan pada usaha kecil menengah (UKM) dan kalangan profesi.

“Ini periode terakhir, akan menyampaikan pada pelaku ekonomi terutama menengah kecil dan profesi,” ujar Menkeu. Dan Sri Mulyani sendiri mengaku telah mendiskon target uang yang harus dikumpulkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) tahun ini sebesar Rp218 triliun dari Rp1.355 triliun dalam APBNP 2016 menjadi Rp1.137,2 triliun. Hal itu dilakukan setelah memperhitungkan risiko perlambatan perekonomian global dan perdagangan internasional.  Sri siap menambah utang luar negeri untuk nambal bolongnya APBN, dan ngutang lagi sudah jadi penyakit lamanya karena sudah jadi habitusnya.

Sri Mulyani Indrawati dinilai inkonsistensi, khususnya terhadap kasus pemberian dana talangan (bail out) Bank Century. Kalangan DPR menganggap profesionalitas seseorang di posisi menkeu  ini akan diuji, apakah sikapnya akan netral atau cenderung condong terhadap kekuasaan rezim dan partai politik babonnya.

Dosa Sri Mulyani lainnya adalah menambah utang negara dengan beban bunga yang sangat besar melalui penjualan obligasi negara atau Surat Utang negara. Pada saat mengundurkan dari jabatan menteri keuangan tahun 2010, Sri Mulyani mewariskan utang yang cukup besar yang harus dibayar oleh rakyat. Selama lima tahun mengurus keuangan negara, total utang Indonesia bertambah Rp 275 triliun menjadi Rp 1.588 triliun. Tumpukan utang terbanyak berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara dengan bunga cukup tinggi, mencapai 15,5 persen. Jatuh tempo SBN paling besar terjadi pada 2012. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2005 jumlah total utang Indonesia sebesar Rp 1.313 triliun dan posisi sementara Mei 2010 mencapai Rp 1.588 triliun. Dalam lima tahun terakhir, Pemerintah terlihat mengerem utangnya ke pihak asing. Ada penurunan Rp 47 triliun. Namun, pengereman ini dibalas dengan lonjakan utang domestik dalam bentuk Obligasi atau Suart Utang Negara (SUN) yang nilainya bertambah Rp 322 triliun. Akibatnya, di APBN-P 2010 saja, pembayaran cicilan pokok utang asing mencapai Rp 54,1 triliun dan bunga utangnya mencapai Rp 105,6 triliun. Jumlah ini setara dengan seperlima pos pendapatan dan hibah APBN 2010 yang sebesar Rp 992 triliun (Republika.co.id).

Kebijakan Sri Mulyani lainnya yang menyenangkan para kapitalis dunia adalah meluncurkan yield obligasi (bunga) yang sangat tinggi. Misalnya pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond dengan yield yang diberikan sebesar 6,95%, lebih tinggi dari Malaysia 3,86%, Thailand 4,8% dan bahkan dari Filipina (yang mendapat julukan The Sick Man in Asia) sebesar 6,5%. Padahal saat obligasi itu diterbitkan, sejumlah lembaga rating seperti S&P, Fitch, dan Moody’s mengganjar peringkat Indonesia di atas Filipina. Dalam logika pasar uang, negara yang peringkatnya lebih tinggi bisa mengail dana dengan biaya lebih murah, karena itulah semestinya yield Indonesia maksimal 5,5%, sedikit di atas Thailand tetapi di bawah Filipina. Kebijakan ini diulang lagi pada 2009. Saat itu Sri Mulyani kembali menerbitkan global bond dengan yield 11,75%, jauh di atas Filipina 8,75% dan hanya sedikit kalah dari negara yang kesehariannya diguncang teror bom seperti Pakistan sebesar 12,5%.

“Prestasi-prestasi palsu” dalam menetapkan yield inilah yang mungkin menyebabkan Sri Mulyani mendapat berbagai penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik oleh majalah-majalah ekonomi terkemuka seperti Euromoney dan Emerging Markets saat sidang tahunan IMF dan Bank Dunia (Kompas.com).

Sri Mulyani juga diindikasikan terlibat korupsi dalam kasus penjualan kondesat dari BP Migas ke PT TPPI, seperti yang disampaikan penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Polri memiliki pertanyaan besar terhadap mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Victor Edison Simanjuntak mengatakan, penyidik mendapatkan informasi, Sri Mulyani menyetujui cara pembayaran kondensat oleh PT TPPI kepada SKK Migas. PT TPPI diketahui merupakan perusahaan yang ditunjuk SKK Migas untuk menjual kondensat bagian negara. “Yang menjadi pertanyaan, penandatanganan itu sudah dilakukan sebelum pihak SKK Migas menandatangani kontrak kerjanya dengan PT TPPI. Seharusnya, itu baru bisa ditandatangani jika sudah ada kontrak kerja,” ujar Victor di Kompleks Mabes Polri, Senin (1/6/2015).

Victor mengatakan, seharusnya persetujuan cara pembayaran tersebut didasarkan pada kontrak kerja antara SKK Migas dan PT TPPI. Namun, penyidik telah mendapatkan informasi bahwa Sri menandatangani surat tersebut hanya berdasarkan surat-surat rencana penjualan kondensat dari SKK Migas saja (Kompas.com).

Dalam kasus penggelapan pajak, Sri Mulyani juga meninggalkan jejak korupsi dalam kasus ini. Di antaranya kasus penggelapan pajak sebesar Rp 400 miliar oleh Grup Ramayana milik Paulus Tumewu. Pada tahun 2005 dirinya selaku menteri keuangan memberikan rekomendasi pada Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan kasus ini demi “kepentingan umum”.

Berdasarkan ‘prestasi-prestasi’ yang menguntungkan para kapitalis itulah, ketika Sri Mulyani terlibat skandal mega korupsi kasus Century, sang agen ini diselamatkan oleh tuannya agar terbebas dari pusaran Mega Skandal Century. Sang tuan, yaitu World Bank dan IMF, mengangkat Sri Mulyani menjadi Managing Director dan Chief Operating Officer Bank Dunia.

EKonomi Makin Liberal, Nawacita Gagal

Kembalinya Sri Mulyani sudah dipastikan akan membuat ekonomi negeri ini makin liberal. Kebijakan-kebijakan Sri Mulyani yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa Sri Mulyani adalah ekonom yang berhaluan neoliberal. Bahkan dia menjadi bagian dari Mafia Berkeley yang membentuk perekonomian negeri ini bercorak neoliberal. Selama menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank) Sri Mulyani juga terus memperhatikan liberalisasi ekonomi yang terjadi di negeri ini dengan memberikan pujian terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mengatasi hambatan perdagangan. Kebijakan yang mendapat pujian Sri Mulyani tentu kebijakan yang pro liberal. Di antaranya kebijakan Jokowi yang melakukan percepatan pembangunan infrastruktur dan paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Jokowi yang bertujuan mengurangi hambatan perdagangan dan investasi. Di antaranya adalah pujian Sri Mulyani atas keberanian Jokowi untuk memangkas anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM).  Dalam hal ini Sri Mulyani menyatakan, banyak negara tetap memberikan subsidi untuk bahan bakar fosil sebagai cara mengurangi biaya bagi konsumen dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, subsidi yang tidak tepat sasaran membawa biaya sangat besar dan menjadi hambatan penghematan energi. Karena itu bukan hal yang aneh, kembalinya Sri Mulyani   menduduki jabatan menteri keuangan mendapat respon posistif dari pasar global. Hal ini tercermin pada kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia dan penguatan mata uang rupiah.

Kebijakan Neoliberal langsung dilakukan oleh Sri Mulyani dengan merombak postur penerimaan dan belanja dalam APBN Perubahan 2016. Sri Mulyani meyakinkan semua pihak bahwa perubahan tersebut penting untuk membuat APBN kembali menjadi instrumen fiskal yang mampu meraih kepercayaan publik (para kapitalis) sekaligus membuat dunia usaha (para kapitalis) menjadi lebih yakin dalam melakukan aktivitas ekonomi. Salah satu kebijakannya adalah memangkas belanja negara sebesar Rp 133,8 triliun, yang mencakup pemotongan belanja kementerian/lembaga Rp 65 triliun dan transfer ke daerah Rp 68,8 triliun.

Mengapa anggaran belanja kementerian dan transfer daerah yang dikorbankan; bukan penerimaan yang ditingkatkan atau menghentikan alokasi dana pembangungan infrastruktur?

Mantan Direktur Bank Dunia ini memaparkan bahwa realisasi pajak pada 2014 yang berada Rp 100 triliun di bawah target. Kemudian di 2015 lalu, saat harga komoditas mulai menurun, penerimaan pajak juga meleset Rp 248,9 triliun dari target. Karena itu sudah dipastikan penerimaan pajak tahun 2016 juga akan terjun bebas, Tekanan defisit APBN 2016 makin besar. Pertengahan tahun ini, defisit anggaran telah mencapai 1,83% dari PDB atau Rp 276,6 triliun. Untuk menutupi defisit itu, Pemerintah harus menggenjot penerimaan negara. Penerimaan dari pajak reguler seret karena sampai saat ini penerimaan negara baru 35,5 persen dari target APBNP 2016. Untuk itu Pemerintah banyak berharap penerimaan dari tax amnesty (pengampunan pajak) yang ditargetkan Rp 165 triliun. Namun, satu bulan berjalan, perkembangannya tidak seperti yang diharapkan. Penerimaan dari tax amnesty per 1 Agustus 2016 baru mencapai Rp 98,43 miliar atau 5,96% dari target uang tebusan Rp 165 triliun. Karena itu banyak pengamat meramalkan, Sri Mulyani akan mengulangi kegagalan program pengampunan pajak yang pernah terjadi pada tahun 2008. Karena itulah pemangkasan belanja APBN sebesar Rp 133 T berarti Sri Mulyani hanya berani menargetkan pendapatan dari Tax Amnesty maksimal 32 T. Masalahnya mengapa bukan anggaran pembangunan infrastruktur yang dipotong? Saya kira Sri Mulyani sadar, Jokowi sudah terlanjur menggelontorkan uang untuk proyek infrastruktur yang sebagian didanai oleh pinjaman. Karena itu akan fatal kalau proyek infrastruktur tersebut sampai mangkrak, akan ada efek domino: investor dan kreditor lainnya akan khawatir dan menahan uangnya untuk tidak melanjutkan pembiayaan proyek lainnya.

Pertanyaannya, apakah pembangunan infrastruktur ini untuk kepentingan rakyat? Jelas bukan, dalam kasus pembangunan kereta api cepat Bandung Jakarta, proyek tersebut jelas tidak urgen karena sudah ada jalan tol, sudah tersedia jalan kereta api. Bahkan Ignatius Johan, Menteri Perhubungan saat itu, menolak proyek tersebut dan memberikan solusi dengan membangun double track dengan biaya yang sangat murah dan bisa memperlancar arus transportasi Jakarta-Bandung. Namun, usulan itu ditolak oleh Jokowi karena sebenarnya yang diincar oleh para kapitalis adalah puluhan ribu hektar tanah PT Perkebunan (PTPN) yang akan dijadikan area bisnis dan komplek perumahan atau kota baru untuk kepentingan para kapitalis. Jelas, keberadaan kereta api cepat adalah fasilitas untuk kepentingan para kapitalis. Begitu juga proyek pembangunan pelabuhan dan bandara serta bendungan seperti Bendungan Jati Gede yang baru diresmikan tahun ini di Jawa Barat. Semuanya tidak memiliki dampak signifikan terhadap rakyat. Bahkan sebaliknya, rakyat hanya jadi korban. Justru infrastruktur yang dibutuhkan rakyat adalah seperti gedung sekolah, jembatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti jembatan di atas sungai Ciberang, Desa Tanjung, Lebak, Banten. Jembatan yang hampir roboh ini, yang hanya tinggal tali penghubung antara sisi sungai Ciberang ini, dan sempat menjadi prihatin oleh banyak kalangan dengan istilah “Jembatan Indiana Jones”, justru tidak menjadi prioritas bahkan diabaikan—walaupun mungkin sering memakan korban nyawa—karena di sana tidak ada kepentingan para kapitalis.

.

SOAL RINI YANG BERMASALAH

Menteri BUMN Rini Soemarno bermasalah, dan pencopotan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Dwi Soetjipto akhir pekan lalu sampai sekarang masih menimbulkan perbincangan negatif.

Saking jengkel dan geramnya publik, kini malah dimunculkan  kontroversi baru, Dwi digadang-gadang jadi Menteri BUMN untuk menggantikan Rini Soemarno. Nah lho. Jokowi kini disiram kotoran ke wajahnya sendiri dengan isu Dwi gantikan Rini. Ironis dan paradoks, miris dan satir..

Menurut Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, kinerja Rini selama ini sangat amburadul tak jelas akan membawa kemana BUMN. Kebijakannya malah jauh dari semangat nawacita.

“Jadi Kementerian BUMN di bawah Rini sepertinya semaunya sendiri. Sepertinya dia itu perannya sangat kuat. Setelah muncul PP 72/2016, kemarin ada lagi pergantian direksi Pertamina yang bikin geger,” papar Enny di Jakarta, Senin (6/2).

Meski mengkritisi kebijakan Rini, Enny juga tetap melihat kinerja Dwi juga tak membuat Pertamina lebih baik, makanya tak masalah diganti.

“Memang ada untungnya, tapi utangnya juga makin menumpuk. Pertamina sebagai BUMN strategis ini mestinya harus dikelola oleh orang yang tepat. Apalagi Pertamina ini politis,” jelas dia.

Ditanya, bahwa Dwi digadang-gadang akan menggantikan posisi mantan bosnya sebagai Menteri BUMN, Enny cukup kaget.

“Masa sih? Memang sih kinerja Rini bobrok. Tapi kalau yang menggantikan Dwi yang notebenenya baru dipecat dari Pertamina tak tepat juga,” ujar Enny.

Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) menyesalkan tindakan Menteri BUMN, Rini Soemarno yang melakukan bongkar-pasang direksi PT Pertamina secara gegabah.

Presiden KSPMI, Faisal Yusra mengkhawatirkan tindakan mal praktik bongkar pasang direksi ini untuk membuka pintu transisional yang akan membajak rencana proyek investasi Pertamina yang bernilai Rp700 Triliun lebih.

“KSPMI mengkhawatirkan pergantian Direksi berpotensi dijadikan ajang bancaan, konspirasi dan transaksional. Karena Pertamina memiliki banyak proyek investasi dengan anggaran triliunan yang tentunya mengiurkan bagi banyak pihak,” ujarnya secara tertulis, Sabtu (4/2).

Untuk itu, dia menegaskan kepada Menteri Rini agar tidak menjadikan Pertamina sebagai intrik politik pemburuan rente serta percaloan jabatan dalam menentukan Bos Pertamina defenitif pengganti Dwi Sutjipto.

“Harapan kami, agar Pertamina terlepas dari gangguan atau rong-rongan pihak manapun. Biarkan Pertamina berkembang menjadi Perusahaan Migas Berkelas Dunia sehingga mampu mengemban amanat pemegang kedaulatan migas Indonesia di masa mendatang,” tandasnya.

Untuk diketahui, Kementerian BUMN telah mencopot Dwi Sutjipto Sebagai Dirut dan Ahmad Bambang Sebagai Wadirut Pertamina (Persero) melalui RUPS Luarbiasa.

Pada akhirnya, publik tahu bahwa Rini dan SMI singkirkan Nawacita dan Trisakti karena inkompetensi mereka berdua dalam menjalankan tugasnya. Payah. (SKT/sumber2 berita)

Category: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1533

Trending Articles