
Ketua KPK Agus Rahardjo mengagenda dilakukannya rapat bersama Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono, Jumat (20/1/2017) besok. Dalam rapat tersebut, KPK akan membahas dugaan korupsi pada proyek reklamasi teluk Jakarta.
Agus mengatakan, KPK akan menelusuri dana kompensasi koefisien lantai bangunan (KLB) yang sudah disetorkan sejumlah pengembang kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
"Kami sedang kumpulkan data, mungkin hari Jumat kami ada rapat mengundang Plt Gubernur DKI untuk dana-dana yang terkait dari sumbangan kompensasi dari pengembang," kata Agus seperti dilansir Kompas.com, Rabu kemarin.
KPK berharap bisa menelusuri aliran dana kompensasi, dan akan memeriksa kemungkinan adanya kesalahan prosedur. "Nanti kami cek, menyalahi aturan atau enggak, mengalami kerugian atau enggak, jadi kalau enggak salah," lanjut Agus.
Sebelumnya KPK diminta tak main-main untuk menelisik keterlibatan Ahok dalam dugaan korupsi Raperda Reklamasi Pantai DKI Jakarta.
“Saya kira pimpinan KPK harus segera menindaklanjuti hasil pemeriksaan penyidik KPK. Hasil pemeriksaan kepada Ahok tidak boleh diabaikan. Komisioner KPK tak bisa lagi berkelit untuk tidak segera menetapkan Ahok sebagai tersangka,” kata pengamat kebijakan publik, Amir Hamzah kepada Harian Terbit, Kamis (12/1/2017).
Amir yakin, penyidik KPK tidak akan kesulitan menelanjangi kebobrokan Ahok. Apalagi kata Amir, berdasarkan data yang dia kantongi, dalam menerbitkan izin pelaksanaan proyek reklamasi, Ahok telah melanggar hukum.
Permintaan kontribusi tambahan itu, menurutnya, tidak melalui keputusan Pemprov DKI secara resmi. Namun, hanya dengan menggunakan memo pribadi. "Tanpa dasar hukum yang jelas, Ahok meminta kontribusi tambahan kepada APL sebesar Rp300 miliar," ungkapnya.
Kesalahan selanjutnya, kata dia, anggaran tersebut tidak dimasukkan terlebih dahulu ke APBD DKI, tetapi langsung digunakan untuk mengerjakan 13 proyek Pemprov DKI.
Dengan demikian, menurut Amir, KPK tak punya alasan apapun untuk menunda-nunda menetapkan Ahok sebagai tersangka. "Sebab tanpa payung hukum. Rp1 rupiah pun Ahok telah melakukan korupsi, dia bisa dijerat dengan pasal berlapis, kena gratifikasi dan juga pemerasan," jelas Amir.
Belum lagi, tambah dia, penggunaan dana tersebut juga tidak pernah melalui mikanisme yang semestinya, termasuk proyek-proyek tersebut dilaksanakan tanpa proses lelang.
"Untuk memuluskan keinginannya, Ahok juga menekan DPRD untuk memasukkan tambahan kontribusi dalam Raperda Zonasi. Tapi, untungnya DPRD cerdas sehingga mereka tidak mau," beber Amir.
Jadi, lanjutnya, apa yang dilakukan Ahok tersebut jelas merupakan penyalahgunaan wewenang, termasuk di dalamnya melanggar aturan. “KPK mau nunggu apa lagi? Sekarang tinggal keberanian dan kejujuran KPK," cetus Amir.
Agung Sedayu
Disisi lain, lanjut Amir, adanya bantuan dari pengembang raksasa PT Agung Sedayu Group sebesar Rp220 miliar kepada Pemprov DKI kian luput dalam catatan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Padahal, bantuan tersebut telah menjadi fakta persidangan yang disampaikan langsung oleh Chairman PT Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma (Aguan), saat menjadi saksi untuk persidangan terdakwa suap anggota DPRD DKI, Mohamad Sanusi pada Rabu (27/7) lalu.
"Dana Rp220 miliar dari Aguan kepada Pemprov DKI adalah fakta persidangan dan tidak terbantahkan lagi. Jadi masyarakat wajib tahu penggunaan dana itu, karena sejauh ini tidak pernah dicatat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI," kata dia.
Amir menjelaskan, jika tidak tercatat dalam APBD maka akan sulit untuk diaudit. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga akan menemui hambatan dalam memeriksa anggaran tersebut. "Kalau sudah begini kami menyarankan aparat penegak hukum KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian lah yang harus turun tangan," ujar Amir.
Diterangkan Amir, dana dari Agung Sedayu hanya salah satu kasus saja. Berdasarkan catatannya, masih terdapat sederet kasus lainnya. Terutama, menyangkut dana yang berbentuk Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan di tanah air.
"Namun untuk sementara kami sampaikan yang dari Agung Sedayu dulu karena sudah menjadi fakta persidangan," terang Amir.
Lebih jauh Amir sekaligus mendesak agar DPRD DKI Jakarta juga tidak tinggal diam. Pihak DPRD DKI, kata dia, harus menggunakan hak bertanya dengan memanggil pihak- pihak terkait.
Kemudian Plt Gubernur, Soni Sumarsono juga diharapkan dapat membantu menyelesaikan persoalan ini.
"Semua pihak berkepentingan untuk menjadikan pengelolaan keuangan DKI yang bersih dan transparansi," tegasnya.
Sembrono
Sementara itu, Ketua Presidium Pro-Demokrasi (ProDem), Andrianto, menilai kasus reklamasi di Pantai Utara Jakarta adalah bukti kebijakan Ahok yang sembrono.
"Saya rasa reklamasi Jakarta sebuah keniscayaan dari gunung es, kebijakan Ahok yang sembrono. Jelas Ahok sudah berapologi tentang proyek reklamasi yang tidak ada dasar hukumnya, wong perda-nya masih dibahas," kata Andrianto, saat dihubungi di Jakarta,
Andrianto mengatakan, semua itu bisa tuntas jika pimpinan KPK komitmen dengan janjinya yang menyebut kasus reklamasi merupakan grand corruption.
"Semua ini bisa tuntas bila Ketua KPK komit dengan janjinya akan tuntaskan reklamasi yang di sebutnya grand corruption. Bila KPK tidak berdaya soal grand corruption sebuah lampu kuning perjalanan KPK," ujarnya.
KRITIK BAMBANG WIDJAJANTO
Mantan pimpinan KPK Bambang Widjajanto menuturkan, BPK sudah melaporkan adanya korupsi di DKI Jakarta era kepemimpinan Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.
''Bagaimana bisa disebut pemerintahan Ahok tidak korupsi kalau banyak perbuatan koruptif yang terjadi di DKI? Siapa Bilang Ahok Tidak Koruptif? Ini Sederet Buktinya!,'' kata Bambang
Bambang memaparkan data dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) per Mei 2016 yang menunjukkan indikasi koruptif di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Paparan itu disebutkan saat peringatan Hari Anti-korupsi di posko pemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Jalan Cicurug, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
"Menurut laporan BPK 31 Mei 2016, pengendalian pengelolaan aset tetap masih belum memadai, yaitu pencatatan aset tetap tidak melalui siklus akuntansi dan tidak menggunakan sistem informasi akuntansi sehingga berisiko salah saji," kata Bambang.
Selain itu, Bambang turut menyertakan bahwa BPK menemukan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan oleh Pemprov DKI Jakarta sebanyak 15 temuan senilai Rp 374.688.685.066.
Bambang juga menyoroti salah satu laporan BPK tentang aset tetap Dinas Pendidikan DKI senilai Rp 15.265.409.240.418 yang tidak dapat diyakini kewajarannya. Pemprov DKI juga diketahui belum menagih kewajiban penyerahan fasos-fasum oleh 1.370 pemegang surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) dalam bentuk tanah seluas 16,84 juta meter persegi.
"Soal kemitraan antara Pemprov DKI dan pihak ketiga senilai Rp 3,58 triliun, BPK belum dapat meyakini pencatatan asetnya. Dari data-data itu, bagaimana bisa disebut pemerintahan sebelumnya bebas dari unsur koruptif?" tutur Bambang.
Bambang belum menjelaskan lebih detil terkait dugaan dan temuan-temuan yang disampaikan tadi. Namun, menurut dia, ada hal lain yang lebih berbahaya, yaitu tindakan untuk tidak menyerap anggaran yang berujung pada bentuk korupsi gaya baru yang belum bisa dijerat oleh hukum.
"Seperti begini, orang boleh melanggar KLB (koefisien lantai bangunan), tetapi bayar denda. Kesalahan dijustifikasi asal kau bayar uang. Ketika bayar uang, dikatakan dipakai untuk kemaslahatan, tetapi tidak masuk dulu di dalam anggaran," ujar Bambang.
Berikut daftar kasus korupsi di DKI Jakarta yang beredar di media di era kepemimpinan Ahok baik sebagai gubernur maupun sebagai wakil gubernur era Jokowi :
1). Kasus Transjakarta Busway
Pengadaan bus transjakarta senilai Rp 1,2 triliun terbukti merugikan negara ratusan miliar rupiah. Busway yang belum sebulan didatangkan dari Cina berkarat dan rusak sehingga tidak bisa digunakan. Kejaksaan telah menetapkan dua orang PNS DKI sebagai tersangka tetapi tidak pernah berusaha menyentuh gubernur dan wakil gubernur sebagai penguasa anggaran, padahal dugaan keterlibatan keduanya banyak diapungkan berbagai pihak.
Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi menilai kasus korupsi yang nilainya lebih dari Rp 1 triliun tidak mungkin hanya dilakukan pejabat eselon III. Pihak agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan makelar proyek yang sebelumnya mengaku sebagai tim sukses Jokowi juga harus diperiksa.Bahkan, Uchok menyebut dua tersangka itu sebagai “boneka” saja.“Bukan mereka yang mendesain korupsi, malah cuma jadi kambing hitam saja. Kalau Kejagung hanya menetapkan mereka bedua sebagai tersangka, seolah-olah Kejagung bermain mata dan melepas kasus itu,” kata Uchok.
2). Kasus UPS
Polri memperkirakan kerugian negara akibat korupsi UPS mencapai Rp 50 miliar rupiah. Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan dua orang pejabat kepala dinas dan satu orang perusahaan rekanan sebagai tersangka. Rabu (29/07) Ahok telah dipanggil sebagai saksi.
Dalam keterangannya usai pemeriksaan, Ahok mengaku ditanya seputar tanda tangan sekretaris daerah (sekda) dalam persetujuan pengadaan UPS. Mungkinkah sekda tanda tangan tanpa sepengetahuan Ahok?
3). Kasus Tanah Sumber Warasdan Reklamasi
Dalam kasus reklamasi, Ahok berkilah bahwa dirinya ditusuk dari belakang. Meskipun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena menjadi kawasan Strategis Nasional, namun Ahok tetap bersikukuh untuk melakukan reklamasi di 17 pulau di kawasan pantai utara tersebut.
Ahok berdalih bahwa Keputusan Gubernur nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang pemberian izin reklamasi tersebut telah sesuai dengan Keppres Presiden Soeharto Nomor 52 Tahun 1995.
Padahal pernyataan Ahok tersebut dinilai lemah dikarenakan Ahok telah melanggar UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi.
Ahok pun lupa bahwa pada era Presiden Gus Dur di tahun 2004, muncul UU tentang Reklamasi yang melarang Kawasan Strategis Nasional tersebut untuk direklamasi.
Sebelumnya, Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta), Rico Sinaga, telah mengingatkan bahwa reklamasi ini tidak boleh dilakukan karena gugatan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung telah dimenangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sedangkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah mempersoalkan reklamasi karena banyak instalasi vital di bawah laut yang akan terganggu.
Dalam kasus RS Wumber Waras, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah kasus korupsi pembelian tanah milik rumah sakit Sumber Waras oleh Pemda DKI dengan harga jauh di atas harga pasaran.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun fiskal 2014 tersebut, BPK mensinyalir adanya indikasi kerugian daerah sebesar Rp191,33 miliar karena kasus jual-beli tanah yang diproyeksi menjadi lahan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker itu.
Garuda Institute sebagai salah satu elemen masyarakat pemantau keuangan daerah mengecam keras provokasi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok melalui media terhadap para pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut Koordinator Tim Peneliti Garuda Institute, Roso Daras, bahwa provokasi yang dilakukan Ahok dinilai memelintir fakta sebenarnya itu juga bertendensi politik, yaitu mendistraksi informasi dan mengaburkan pokok masalah yang lebih substansial, yakni akuntabilitas keuangan Pemprov DKI.(berbagai sumber)