
KONFRONTASI- Penggunaan ambang batas presiden atau presidential threshold (PT) pada Pemilu 2019 dinilai tidak sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengesahkan Pemilu 2019 berlangsung serentak. PT sudah tidak relevan lagi.
Mengacu pada keputusan MK, Partai Gerindra menghendaki nol persen untuk PT. "Soal PT, Gerindra mengusulkan kembali ke putusan MK, yakni nol persen. Putusan MK bersifat final dan mengikat," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senin (16/1/2017).
Menurut Muzani, dengan tidak adanya angka PT maka setiap parpol berhak mengajukan calon untuk bertarung di Pilpres. “PT nol persen bukan untuk menghambat koalisi parpol dalam pencapresan, tapi karena sudah diputuskan MK," paparnya.
Sementara itu pengamat politik Emrus Sihombing berpendapat, PT nol persen akan menghasilkan capres dan cawapres bermutu, dan berinteritas, sesuai keinginan rakyat.
“PT nol persen akan banyak calon presiden yang menjadi pilihan rakyat. Lebih dari itu, semua parpol akan berloma mencari sosok yang tepat untuk diusung. Parpol lama tidak perlu ketakutan. Justru ini menjadi tantangan mereka supaya mengusung presiden yang lebih bermutu daripada parpol yang baru," ujar Emrus.
Inkonstitusional
Sebelumnya Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menilai, penggunaan PT pada Pemilu 2019, inskonstitusional, karena tidak sejalan dengan keputusan MK yang mengesahkan Pemilu 2019 berlangsung serentak.
“Sebagian fraksi di Pansus ini menilai keputusan serentak ini otomatis meniadakan threshold,” kata Lukman saat diskusi bertajuk ‘RUU Pemilu dan Masa Depan Demokrasi’ di Jakarta, Sabtu (14/1/2017). Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy.
Dalam draf yang diserahkan, pemerintah mengusulkan agar presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Namun, ketentuan itu belum final.
Lukman menegaskan, berapa pun ambang batas yang diusulkan pemerintah akan bertentangan dengan keputusan MK yang bersifat final dan mengikat. “Mau 5 persen, 15 pesen atau seperti usulan pemerintah (inkonstitusional),” ujarnya.
Dihubungi terpisah, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Zaki Mubarak mengatakan, dalam Pemilu 2019 mendatang harus ada PT. Dia mengakui dalam PT ada konsekuensi bahwa partai-partai baru dan gurem yang hanya dapat suara kecil dalam pemilu tidak bisa mengusung calon sendiri untuk maju dalam Pilpres.