
KONFRONTASI-Jurus kepretan rajawali kembali dikeluarkan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli terkait urusan di sektor energi. Setelah soal Blok Masela, kali ini ia menyebut ada pejabat negara keblinger (sesat/keliru) memberikan perpanjangan kontrak tambang PT Freeport Indonesia, di Grasberg, Papua.
"Perpanjangan itu belum dan tidak sah, karena sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku, perpanjangan kontrak Freeport hanya bisa dilakukan dua tahun menjelang kontrak berakhir. Kontraknya (Freeport) itu kan berakhir 2021. Jadi, pembahasan perpanjangan baru boleh berdasarkan peraturan pemerintah itu tahun 2019," kata Rizal ditemui di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rasuna Said, Jakarta, Senin (12/10/2015).
Peraturan yang dimaksud Rizal adalah Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Terkait aturan ini, pemerintah segera mengeluarkan revisi keempat sebagai salah satu deregulasi dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah. Revisi ini masih dibahas di Kantor Kemenko Perekonomian dan selanjutnya diajukan ke Presiden untuk mendapatkan penandatanganan.
Rizal menyebut, bila pejabat yang memberikan kepastian perpanjangan kontrak Freeport, adalah pejabat yang keblinger.
"Jadi pejabat yang sok-sok memperpanjang kontrak ini keblinger. Kenapa? Karena kita masih banyak hal dari Freeport yang nggak dipenuhi," ucap Rizal.
Menurutnya, beberapa hal yang belum dipenuhi Freeport yakni naiknya kewajiban royalti. Ia mau, agar royalti yang dibayar perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini naik menjadi 7%.
"Satu, selama dari 1967-2014 (Freeport) hanya membayar royalti 1%, padahal negara lain bayar kewajiban royaltinya 6-7%. Memang sebelum pemerintahan SBY berakhir, mereka setuju menaikkan 3,5%, tapi itu belum cukup menurut kami, Freeport harus bayar 6-7%," ungkapnya.
Ia menyebut, selama puluhan tahun Freeport menikmati hanya bayar royalti tambang 1% karena terjadi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada saat perpanjangan kontrak pada tahun 1980-an.
"Kenapa bisa begitu lamanya dari 1967-2014 mereka hanya bayar 1%? Mohon maaf, terjadi KKN pada saat perpanjangan kontrak tahun 80-an. Kami tidak mau ini terulang lagi," tegasnya.
Kedua, kata Rizal. Limbah beracun yang membahayakan rakyat di sekitar Sungai Amungme di Papua itu tidak diproses. "Freeport terlalu greedy (serakah), terlalu untung besar-besaran, padahal ada tambang lain di sekitar Sulawesi yang memproses limbahnya sehingga tidak membahayakan lingkungan," ungkapnya
Ketiga, menurut Rizal, Freeport tidak bisa dipercaya soal divestasi saham. Padahal ada kewajiban pemenang kontrak karya harus punya program divestasi.
"Freeport selalu mencla-mencle soal divestasi. Artinya menjual sahamnya kepada Pemerintah Indonesia atau anak perusahaan di Indonesia. Jadi kami lihat Freeport seenak-enaknya saja kalau ada menteri yang mengatakan sudah disetujui perpanjangan kontraknya, itu melawan hukum," tutup Rizal.
Sebelumnya, Freeport mengklaim telah mendapatkan kepastian kelanjutan usaha usai kontrak mereka berakhir pada 2021. [mr/dtk]