
KONFRONTASI- Langkah kepolisian mempidanakan penulis buku Jokowi Undercover dianggap terlalu tergesa-gesa, tetapi polisi bersikukuh keputusan itu tepat karena isinya dinilai berisi kebohongan menyangkut kepala negara.
Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover, telah ditangkap dan ditahan oleh polisi pekan lalu atas dugaan memfitnah serta menebar kebencian melalui isi bukunya.
Dalam hal ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengapresiasi proses hukum terhadap penulis buku "Jokowi Undercover" Bambang Tri Mulyono.
"Karena bertujuan baik untuk melindungi Kepala Negara," kata Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, Kamis (5/1).
Namun, lanjut Natalius, pelarangan terhadapa penilaian masyarakat atas karya cipta perlu menjadi perhatian luas karena terkesan ada kecenderungan penyalahgunaan kewenagan atau abuse of power melalui pengekangan kebebasan pendapat, pikiran dan perasaan serta pengekangan kebebasan ekspresi yang telah diperjuangkan dengan nyawa dan darah sejak 18 tahun silam.
"Negara sebaiknya tidak memasuki ruang hak asasi individu yang telah melekat secara alamiah, namun harus melakukan suatu upaya progresif dan profesional untuk menyatakan bahwa buku tersebut adalah salah," ujar Natalius.
Menurut pria asal Papua ini, negara justru harus membantu menjernihkan pertanyaan publik, mengapa identitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih dipersoalkan secara terus-menerus, sejak Jokowi masih pencalonan diri sebagai presiden hingga saat ini sudah berada di singgasana kekuasaan.
Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain, dimana Jokowi lahir? Diamana dibesarkan, apakah di Sragen atau di Sriroto Boyolali? Siapa orang tua Jokowi sesungguhnya? Lantas apakah memang ada hubungan dengan PKI di tahun 1950-an dan 1960-an?
"Kita tetap antisipasi sedini mungkin karena Kesangsian atas identitas akan menjadi tutur atau diskursus sejarah dan berita kelam pada masa yang akan datang," ujar Natalius.
Terakhir, Natalius meminta Pemerintah sebaiknya menghindari melakukan tindakan defensif dengan menyatakan isi buku "Jokowi Undercover" tidak benar, fitnah, bohong dan sebagainya.
"Karena rakyat masih ingat kata seorang tokoh nasional 'sepersen saja saya makan uang, siap digantung di Monas'. Tindakan atau perkataan yang bertolak belakang dengan fakta ini yang disebut teori acontrario, atau pepatah Jawa kuno 'kecik betitik ala ketara'," imbuhnya.
Oleh karena itu, tambah Natalius, pemerintah sebaiknya membantu keluarga Jokowi agar menjaga nama baik, wibawa serta harkat dan martabatnya tetap lestari di masa yang akan datang. [rus]
Di tempat terpisah, juru bicara Mabes Polri, Brigjen Rikwanto kembali menegaskan bahwa isi buku karya Bambang Tri Mulyono "tendensius" dan "luar biasa bohongnya" sehingga meresahkan masyarakat.
Dalam video di laman Facebooknya pada 24 Desember lalu, Bambang Tri Mulyono mengatakan dirinya menulis buku itu untuk membela negara.
"Saya tidak rela lembaga kepresidenan dilecehkan oleh seseorang yang bernama Jokowi," kata Bambang.
Bambang, dalam video itu, juga menduga Jokowi memalsukan riwayat hidupnya di dokumen resmi Komisi Pemilihan Umum saat mencalonkan sebagai presiden.
Tuduhan seperti ini telah dibantah berulangkali oleh keluarga Presiden Joko Widodo. Kepada media, Ibunda Jokowi, Sudjiatmi Noto Mihardjo, kembali menegaskan hal itu di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, saat perayaan Tahun Baru 2017.
Dia dijerat Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan Pasal 207 KUHP karena sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo.
Polisi mulai menyelidiki kasus ini setelah seseorang bernama Michael Bimo melaporkan Bambang Tri Mulyono karena bukunya menulis dirinya sebagai saudara kandung Presiden Jokowi dan menganggap Jokowi bukan anak kandung Sudjiatmi, ibu Presiden Jokowi.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Eddyono mengatakan hukum pidana adalah upaya terakhir apabila upaya-upaya lainya telah gagal. Dia menganggap kasus ini bisa ditangani Kejaksaan Agung dengan melarang peredaran buku tersebut.
"Jaksa Agung punya hak untuk melakukan pengambilan buku-buku yang dianggap bertentangan dengan hukum Indonesia. Saya pikir upaya itu dulu yang dilakukan," kata Supriyadi kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa (03/01).
Menurutnya, jika akhirnya polisi mempidanakan penulis buku tersebut, dirinya meminta polisi lebih hati-hati dan cermat dalam menerapkan UU Diskriminasi dan UU ITE karena ini bersinggungan dengan isu kebebasan berekspresi.
"Memang kebebasan ekspresi menjadi pertaruhan dalam kasus-kasus seperti ini. Tetapi memang harus dipastikan lebih dahulu apakah memang substansi (isu buku) itu (berisi) ujaran kebencian," ungkapnya.
'Luar biasa bohong'
Di tempat terpisah, juru bicara Mabes Polri, Brigjen Rikwanto kembali menegaskan bahwa isi buku karya Bambang Tri Mulyono "tendensius" dan "luar biasa bohongnya" sehingga meresahkan masyarakat.
Dalam video di laman Facebooknya pada 24 Desember lalu, Bambang Tri Mulyono mengatakan dirinya menulis buku itu untuk membela negara.
"Saya tidak rela lembaga kepresidenan dilecehkan oleh seseorang yang bernama Jokowi," kata Bambang.
Bambang, dalam video itu, juga menduga Jokowi memalsukan riwayat hidupnya di dokumen resmi Komisi Pemilihan Umum saat mencalonkan sebagai presiden.
Tuduhan seperti ini telah dibantah berulangkali oleh keluarga Presiden Joko Widodo. Kepada media, Ibunda Jokowi, Sudjiatmi Noto Mihardjo, kembali menegaskan hal itu di kediamannya di Solo, Jawa Tengah, saat perayaan Tahun Baru 2017.
"Saya mendoakan orang yang memfitnah mendapat bimbingan Allah SWT. Karena yang dituduhkan tidak ada buktinya dan keluarga saya tidak ada yang terlibat," kata Sudjiatmi.
Lebih lanjut juru bicara Mabes Polri, Brigjen Rikwanto mengatakan, penulis buku Jokowi Undercover "mengambil bahan untuk membuat buku ini dari media sosial atau dari obrolan di dunia maya."
MASUKAN KOMNAS HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengapresiasi proses hukum terhadap penulis buku "Jokowi Undercover" Bambang Tri Mulyono.
"Karena bertujuan baik untuk melindungi Kepala Negara," kata Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, Kamis (5/1).
Namun, lanjut Natalius, pelarangan terhadapa penilaian masyarakat atas karya cipta perlu menjadi perhatian luas karena terkesan ada kecenderungan penyalahgunaan kewenagan atau abuse of power melalui pengekangan kebebasan pendapat, pikiran dan perasaan serta pengekangan kebebasan ekspresi yang telah diperjuangkan dengan nyawa dan darah sejak 18 tahun silam.
"Negara sebaiknya tidak memasuki ruang hak asasi individu yang telah melekat secara alamiah, namun harus melakukan suatu upaya progresif dan profesional untuk menyatakan bahwa buku tersebut adalah salah," ujar Natalius.
Menurut pria asal Papua ini, negara justru harus membantu menjernihkan pertanyaan publik, mengapa identitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih dipersoalkan secara terus-menerus, sejak Jokowi masih pencalonan diri sebagai presiden hingga saat ini sudah berada di singgasana kekuasaan.
Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain, dimana Jokowi lahir? Diamana dibesarkan, apakah di Sragen atau di Sriroto Boyolali? Siapa orang tua Jokowi sesungguhnya? Lantas apakah memang ada hubungan dengan PKI di tahun 1950-an dan 1960-an?
"Kita tetap antisipasi sedini mungkin karena Kesangsian atas identitas akan menjadi tutur atau diskursus sejarah dan berita kelam pada masa yang akan datang," ujar Natalius.
Terakhir, Natalius meminta Pemerintah sebaiknya menghindari melakukan tindakan defensif dengan menyatakan isi buku "Jokowi Undercover" tidak benar, fitnah, bohong dan sebagainya.
"Karena rakyat masih ingat kata seorang tokoh nasional 'sepersen saja saya makan uang, siap digantung di Monas'. Tindakan atau perkataan yang bertolak belakang dengan fakta ini yang disebut teori acontrario, atau pepatah Jawa kuno 'kecik betitik ala ketara'," imbuhnya.
Oleh karena itu, tambah Natalius, pemerintah sebaiknya membantu keluarga Jokowi agar menjaga nama baik, wibawa serta harkat dan martabatnya tetap lestari di masa yang akan datang.
Mencari di Google
Menurutnya, Bambang lantas menganalisa serta menghubung-hubungkan sendiri temuannya itu. "Kemudian disimpulkan sendiri sehingga menjadi narasi seolah-olah itu sebuah kebenaran yang dituangkan dalam buku," ungkapnya.
"Soal foto dia bilang menggunakan analisa fotometrik. Ditanya darimana keahlian itu, dia jawab cari di Google. Disana ada petunjuknya kemudian dia membandingkan foto satu dengan yang lain. Lalu disimpulkan sendiri," jelasnya kepada wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu dan wartawan lainnya.
Bambang Tri Mulyono ) menduga Jokowi memalsukan riwayat hidupnya di dokumen resmi KPU saat mencalonkan sebagai presiden. Tuduhan ini dibantah oleh keluarga Jokowi di Solo.
Rikwanto menjelaskan penulis sama sekali tidak melakukan studi komprehensif serta tidak melakukan pengecekan ulang atau survei lapangan.
"Buku ini sama saja dengan mencemarkan orang," kata Rikwanto.
Ditanya mengapa kepolisian tidak menyerahkan penilaian buku ini kepada masyararakat, Rikwanto mengatakan: "Tidak sesederhana itu, ini menyangkut kepala negara dan menyangkut orang banyak. Harus ada ketegasan."
Penghinaan tidak bisa dibenarkan
Sementara, profesor filsafat dan pastor Katolik Frans Magnis Suseno mengatakan, dirinya kurang sepakat apabila kasus buku Jokowi Undercover tidak diselesaikan secara hukum.
Menurutnya, tindakan polisi mempidanakan penulis buku tersebut merupakan kewajaran.
"Kalau betul-betul menyangkut penghinaan atau sesuatu yang dianggap fitnah dan yang dihina dan difitnah adalah kepala negara, saya pikir wajar diambil tindakan hukum," katanya kepada BBC Indonesia, melalui sambungan telepon, Selasa (03/01) sore.
Karenanya, dirinya tidak setuju jika masalah ini diserahkan kepada masyarakat untuk memberikan penilaian terhadap isi buku tersebut. "Karena yang ditulis dalam buku ini pernyataan-pernyataan yang bisa sangat merugikan presiden."
Frans Magnis kemudian menggarisbawahi tuduhan penulis yang menyebut Presiden Jokowi memiliki keluarga yang terkait Partai Komunis Indonesia, PKI. Menurutnya, tindakan penulis yang tidak berdasar itu "sangat kotor".
"Bahwa penulis memasukkannya dalam buku, bagi saya alasan cukup untuk tidak membiarkan buku itu," tandas Frans Magnis.
Ditanya bukankah langkah polisi bisa dianggap memberangus kebebasan berpendapat, Frans Magnis mengatakan: "Penghinaan begitu saja tidak bisa dibenarkan dengan kebebasan menyatakan pendapat."
Diragukan isinya
Di tempat terpisah, Sunardian Wirodono, penulis buku berjudul Jokowi Undercover (terbit 2014), meragukan buku karya Bambang Tri Utomo yang isinya mempertanyakan latar belakang keluarga Presiden Jokowi.
Image caption Joko Widodo (tengah) di masa muda bersama istri dalam sebuah acara.
"Artinya negara punya mekanisme untuk melakukan klarifikasi semua sejarah tentang Jokowi," kata Sunardian kepada BBC Indonesia, Selasa (03/01) sore.
"Jadi saya pikir terlalu konyol kalau seorang Jokowi bisa menyembunyikan identitasnya," katanya.
Namun demikian, menurut Sunardian, dalam situasi seperti sekarang, sulit membendung membanjirnya informasi di media sosial karena setiap orang dapat memperolehnya dan kemudian menyebarkan pendapatnya.
Masalahnya, lanjutnya, pelakunya harus bisa membuktikan bahwa yang dia tuliskan itu benar atau sebaliknya. "Persoalannya sekarang apakah Bambang Tri Utomo bisa membuktikan tulisan-tulisannya itu." katanya.
Saat ini yang dibutuhkan adalah kemampuan masyarakat bersikap kritis dalam menyikapi informasi yang beredar, tandasnya. (BBC/CNN/KCM/RMOL)