
KONFRONTASI-Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang telah menjatuhkan hukuman ringan pada mantan Ketua DPR Ade Komarudin (Akom) dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
"Mereka kuasa hukum akan melakukan langkah dalam beberapa hari. Dan langkahnya saya lihat dengan berbagai jurus, berbagai segi. Ada hukum administrasi negara, hukum pidana, perdata," kata Akom saat ditemui di kediaman dinasnya di Widya Chandra, Jakarta Selatan, Minggu (25/12).
Akom menilai putusan MKD tersebut mengandung unsur abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Karena itu, dia melawan putusan MKD meski melalui pengacara-pengacara muda. "Mereka serius mendalami. Tapi kebanyakan pengacara muda yang belum kawin. Saya nggak bisa bayar mahal," tandas dia.
Langkah Akom melawan MKD sudah diketahui oleh Ketum Golkar yang mengganti posisinya sebagai ketua DPR Setya Novanto. Akom mengatakan kepada Novanto bahwa dirinya tidak mempermasalahkan pergantian ketua DPR. "Kalau soal jabatan, saya tidak permasalahkan. Tapi kalau soal MKD, saya pikir kalau bisa tidak boleh terulang kembali. Kasihan lembaga legislatif ini. Cukup sampai saya saja, gitu. Ini soal nama baik, saya akan perjuangkan sampai kapanpun," tegas dia.
Salah satu kasus yang menimpa Ade Komarudin adalah terkait Penyertaan Modal Negara (PMN). Dalam kasus itu, ia dituding mengalihkan mitra kerja Komisi VI, yaitu BUMN kepada Komisi XI. Akom menilai tak ada prosedur yang dilanggar. Akom menilai PMN harus dibahas oleh dua komisi. Selain Komisi VI sebagai mitra kerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN), juga oleh Komisi XI sebagai mitra kerja Menteri Keuangan.
"Yang namanya privatisasi, PMN sesuai UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara dan UU BUMN harus melibatkan Komisi XI karena PMN maupun privatisasi harus disetujui oleh pemilik BUMN, yaitu Menteri Keuangan," kata Akom.
Selain itu secara prosedur pemanggilan terlapor, MKD juga dinilai telah melanggar. Akom dianggap dua kali tak hadir saat dipanggil. Padahal, Akom telah melayangkan surat terkait ketidakhadirannya pada pemanggilan kedua. Saat itu, dia harus terbang ke Singapura untuk berobat.
"Bayangkan. Secara prosedur saja, saya baru diundang dua kali. Saya sampaikan surat. Yang penegakkan hukumnya luar biasa saja seperti KPK, juga begitu. Tata acara MKD juga begitu. Masa pada saat itu juga saya dijatuhkan pengadilan in absensia, saya bersalah. Kan enggak benar," pungkas dia.[mr/bst]