
JAKARTA-Hari-hari ini Presiden Jokowi terus delegitimasi. Para menteri Kabinet sudah tak perduli, rakyat dan umat Islam minta Jokowi legowo mundur, karena ekonomi hancur dan umat Islam makin sengsara. Sudahlah Jokowi legowo mundur saja, tahu dirilah kalau dirinya bodoh, tidak kredibel dan memalukan diri sendiri. Siapa mau menteri bela Jokowi yang sudah delegitimasi? Para pakar, analis dan peneliti menilai, banyak yang tidak terkatakan dalam protes Aksi Bela Islam I dan II, juga aksi bela III nanti. Intinya, rakyat butuh perbaikan ekonomi, kembali ke UUD45 asli dan itu tak mungkin dipimpin Jokowi lagi yang lemah dan bodoh sekali. UGM kini malu dan aib dengan kelemahan Jokowi yang makin menonjol dan telanjang. Dia ngisin-ngisinke UGM dan Kagama yang kena getah aibnya karena Jokowi-Ahok setali tiga uang, bau sangit kepentingan finansial dari pemodal untuk membiayai keduanya ke panggung politik nasional. Kini sudah demoralisasi, umat Islam anggap sebagai Imam maka Jokowi sudah batal, dan harus diganti karena kesalahan dan kealpaannya sendiri..
Tiga staf pengajar Fisipol UGM Yogyakarta tiba-tiba bicara tentang Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Yang sangat menarik dari pembicaraan kami itu adalah mengenai peran ketiga dosen UGM tersebut dalam ‘menciptakan’ sosok Jokowi sehingga menjadi ‘orang atau tokoh’ seperti yang kita ketahui selama setahun terakhir ini. Jokowi dapat dikatakan sebagai hasil ciptaan ketiga dosen UGM ini. Mereka adalah dosen, ahli komunikasi massa dan ahli politik dari UGM Yogyakarta yang menjadikan Jokowi sebagai ‘eksprimen’ atau ‘kelinci percobaan’ dalam rangka menguji efektifitas sebuah pencitraan yang dilakukan secara sistematis dan akademis.
Meski demikian mereka mengungkapkan penyesalan dan kekecewaan yang mendalam terhadap Jokowi yang mereka nilai lupa diri dan tidak memiliki hubungan manusiawi yang baik. Mereka juga menuduh Jokowi sebagai orang yang tidak tahu membalas budi dan mudah melupakan jasa orang lain. Ketiga dosen tersebut mengatakan bahwa selama Jokowi menjadi gubernur Jakarta, tidak sekali pun mau menerima telpon dari mereka, apalagi mengharapkan Jokowi sudi menghubungi mereka. Sifat jokowi yang lupa diri, lupa balas jasa dan tidak menjaga pertemanan itu sudah nenjadi rahasia umum di kalangan sahabat – sahabat atau kolega – kolega Jokowi di Solo dan Jawa Tengah.
”Sejak Jokowi jadi Gubernur Jakarta perangainya memang jauh berubah. Kita kenal betul karakter Jokowi, namun dulu tidak separah ini” ujar salah seorang dari mereka. Mendengar ekspresi kekecewaan orang – orang yang telah membesarkan Jokowi itu, saya hanya bisa tersenyum kecut. “Mereka tidak tahu, jangan hanya dosen dari UGM, Prabowo dan Jusuf Kalla yang sangat berjasa membantu mengangkat Jokowi dari hanya tokoh kota kecil menjadi Gubernur DKI Jakarta saja, dia tega khianati karena mendapatkan tuan – tuan baru yang merupakan konglomerat tionghoa termuka di Indonesia”, batin saya.
Pencitraan Palsu
Para pakar melihat, banyak orang yang tidak mengenal Jokowi yang sebenarnya. Apalagi mengenai karakter aslinya yang jauh dari sosok jokowi sebagaimana dicitrakan media – media milik para konglomerat atau media bayaran mereka. Jokowi sebagai manusia, tidaklah sebaik dan sejujur yang ditulis dan diberitakan mayoritas media massa nasional. Banyak catatan buruk tentang Jokowi, terutama jika dikaitkan dengan track record korupsinya dan kebohongan – kebohongan yang dilakukannya. Banyak janjinya palsu dan omongannya hanya pencitraan belaka. Umat islam yang menderita, makin susah dan miskin.
Jokowi sudah tak dipercaya umat Islam lagi, dia sendirrian melakukan komunikasi politik yang intensif dengan para unsur pemimpin bangsa (mantan Presiden, Ketua Umum Partai Politik Besar, Ormas Keagamaan dan lain-lain).
Proses komunikasi politik ini tentu saja baik dan memang diperlukan untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah bangsa.
Pengamat komunikasi dan media Agus Sudibyo, menegaskan proses komunikasi politik tidak boleh berhenti sekedar tindakan berkomunikasi, tetapi harus benar-benar berkontribusi pada penyelesaian masalah bangsa hari ini,
Katakanlah situasi politik yang memanas oleh demonstrasi Umat Islam menuntut pemidanaan atas kasus penistaan agama oleh Cagub DKI, Basuki Tjahaya Purnama.
"Proses komunikasi politik Presiden Jokowi harus berdampak langsung kepada kemampuan pemerintah mengendalikan situasi politik dan mencegah gejolak politik yang semakin memanas dengan munculnya demonstrasi lanjutan dan seterusnya," katanya dalam keterangan tertulis kepada Tribunnews.com
Apalagi, sambung Agus, proses komunikasi politik itu telah sedemikian rupa dipertontonkan kepada masyarakat melalui media massa, sehingga harapan masyarakat pun terlanjur membumbung tinggi terhadap kemampuan pemerintah mengembalikan situasi politik menjadi tenang seperti sedia kala.
“Jika gejolak politik dan demonstrasi SARA ternyata masih terus terjadi dan suasana politik belum juga dapat dikendalikan, masyarakat dapat menilai proses komunikasi politik yang dilakukan Presiden Jokowi menemui gagal atau hanya sekedar retorika saja," ujarnya.
Ditambahkannya, jika ini terjadi, masyarakat akan semakin resah dan perlahan mulai kehilangan kepercayaan kepada Presiden Jokowi.
Hal ini harus diantisipasi Presiden dan pembantunya.
Pengajar di Akademi Televisi Indonesia (AVI) itu mengatakan, dengan sengaja mempublikasikan proses komunikasi politik Presiden Jokowi dengan berbagai pihak di atas tidak selalu bernilai strategis.
Namun juga mengandung resiko politik yang serius, yakni mengecewakan masyarakat yang terlanjur dibikin berharap banyak.
Menurut Agus, satu yang patut disayangkan adalah, Presiden seperti single fighter dalam menangani gejolak politik belakangan ini. Presiden, tambahnya, seperti melakukan sendiri kerja-kerja komunikasi politik.
Lalu di mana para menteri, para penasehat presiden? Menjadikan Presiden sebagai single-fighter mungkin dapat menimbulkan kesan positif, bahwa Presiden benar-benar hadir menyelesaikan masalah.
"Namun hal ini juga bisa menjadi boomerang. Jika gejolak politik masih terus terjadi, maka seluruh kekecewaan akan tertuju kepada Presiden seorang diri,” kata Agus.